Kamis, 01 Desember 2016

[Resensi] Novel Wanita-wanita Matahari

Judul : Wanita-Wanita Matahari
Penulis : Aisyah Qahar
Penerbit : DIVA Press
Terbit : Cetakan Pertama, Juni 2011
Tebal Buku : 345 halaman
Harga Buku : Rp. 50.000



Novel “Wanita-wanita Matahari” ini adalah novel debut pertama dari novelis asal Mojokerto, Aisyah Qahar. Ia menyelesaikan studinya di salah satu perguruan negeri Islam terkenal di Jawa Timur, yakni Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Surabaya. Saat ini ia banyak menulis cerpen dan novel yang menarik dan inspiratif.
Dalam novel ini, penulis memunculkan kisah-kisah inspiratif dan menarik pembaca untuk meneladani hal-hal dari kisah kehidupan wanita-wanita muslimah dengan latar belakang kehidupan yang berbeda-beda.
Novel ini mengisahkan tentang perjalanan tiga orang sahabat dengan latar belakang dan watak berbeda. Ketiganya disatukan menjadi satu keluarga di sebuah pesantren terpencil di Surabaya. Lili Khandi menjadi tokoh utama dalam kisah ini. Penulis menggambarkan Lili Khandi sebagai gadis yang baik, manis, dan taat aturan. Dalam kisah ini ia dipertemukan dengan 2 orang gadis yang menjadi sahabat karibnya di pesantren. Gadis yang pertama adalah Faha, ia digambarkan sebagai gadis yang jorok, serampangan, tegar, dan kuat. Dan yang kedua adalah Ganis, ia sosok gadis yang cantik, fashionable, menarik, pintar, dan juga tegar.
Lili Khandi, Ganis, dan Faha menjalin persahabatan yang demikian kental. Dengan penuh suka duka, mereka menjalani kehidupan sebagai seorang santri yang kadang konyol, kadang perlu keseriusan, juga kadang sangat dramatis. Saat masalah menghampiri salah satu di antara mereka, yang lainnya berusaha membantu untuk menyelesaikannya.
Kekuatan persahabatan mereka diuji manakala Faha dan Ganis harus pergi dari pesantren karena masalah rumit yang menimpa mereka. Kini tinggallah Lili Khandi yang masih bertahan di dalam pesantren.
Pada bagian akhir cerita, Lili Khandi menerima surat dari kedua sahabatnya. salah satu isinya adalah, “Kau harus siap pada setiap kenyataan yang datang padamu, cepat atau lambat. Ini hanya kesedihan keci. Kesedihan paling dalam adalah kehilangan orang yang kau cintai, selamanya. Percayalah, kita akan bertemu lagi suatu hari. Aku pergi bukan untuk mati, tapi menjalani nasibku selanjutnya”.
Sungguh sebuah novel inspiratif yang akan mengajarkan kita banyak hal akan betapa tidak mudahnya menjalani kehidupan di dunia ini.
Dalam novel ini memang masih dijumpai penggalan kalimat yang tidak sesuai dengan EYD. Selain itu akan banyak dijumpai kata-kata berbahasa jawa, seperti “kruyukan”, “sirah”, dan lain-lain. Namun gaya bahasa yang ada dalam novel ini sangat sopan, mengalir jernih, cerdas dan lembut, membuat pembaca tidak mudah jenuh. Selain itu nilai-nilai religius dan budaya masih sangat kental dalam kisah ini. Kisah tiga wanita yang sangat inspiratif ini layak untuk kita teladani.

2 komentar: