Kamis, 01 Desember 2016

Maqoshid Al-Syari’ah

Definisi Maqoshid Al-Syari’ah
Secara bahasa, maqashid al-syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqoshid dan syari’ah. Maqoshid adalah bentuk jama’ dari maqsud yang berarti kesengajaan atau tujuan. Syari’ah secara bahasa berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju air ini dapat dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan. Jadi secara bahasa maqashid al-syari’ah berarti maksud atau tujuan disyari’atkan rukun Islam.
Didalam Al-Qur’an Allah swt. menyebutkan beberapa kata syari’at diantaranya sebagai mana yang terdapat dalam Surah Al-Jassiyah dan Asy-Syura:

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الأمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ   ( ١٨ 

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”. (Al-Jatsiyah 45 : 18)

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَوْلا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ )٢١(

“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa iaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya”. (Asy-Syura 42: 13)

Berikut ini kami jabarkan beberapa pengertian maqoshid al-syari’ah yang dikemukakan oleh beberapa ahli.
1. Wahbah Al Zuhaili
Wahbah Al Zuhaili menyatakan bahwa maqashid al-syari’ah adalah nilai-nilai dan sasaran syara’ yang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukum, nilai dan sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syari’ah yang ditetapkan oleh syar’i dalam setiap ketentuan hukum.
2. Al Syatibi
Menurut Al-Syatibi dalam karyanya Al-Muwafaqat, Maqasid Al-Syari’ah yang secara substansial mengandung kemashlahatan. Maqashid Al-Syari’ah mengandung 4 aspek, yaitu:
a. Tujuan awal dari Syari' menetapkan syariah yaitu kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat.
b. Penetapan syariah sebagai sesuatu yang harus dipahami.
c. Penetapan syariah sebagai hukum taklifi yang harus dilaksanakan.
d. Penetapan syariah guna membawa manusia ke bawah lindungan hukum
Selain itu menurut As-syatibi tujuan akhir dari suatu hukum adalah maslahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia
3. Abdul Wahhab Khallaf
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, Maqasid Al-Syari’ah adalah suatu alat bantu untuk memahami redaksi Al-Qur'an dan Al-Hadits, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung dalam Al Qur'an dan Al Hadits.
Jadi, maqashid al-syari’ah yaitu tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Maksudnya yaitu sesuatu yang menjadi sasaran (sesuatu yang hendak dicapai) atau alasan kenapa Allah dan Rasul-Nya merumuskan hukum-hukum Islam.
Sementara itu, tujuan Allah mensyari’atkan hukum-hukum-NyA adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia dan tujuan tersebut hendak dicapai melalui tuntutan (takhlif) yang pelaksanaanya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama yaitu al-Qur’an dan hadits.
Jadi tujuan Allah dalam mensyari’atkan hukum-Nya adalah untuk kemaslahatan umat manusia sehingga dalam menjalani kehidupannya khususnya umat Islam tidak melenceng dari apa yang diperintah dan apa-apa yang dilarang oleh allah.


Macam-macam Maqoshid Al-Syari’ah
Dalam kitab Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Syari’ah dijelaskan bahwa dalam upaya mewujudkan dan memelihara 5 unsur pokok terealisasinya tujuan syari’at, Maqoshid Al-Syari’ah dibagi menjadi tiga tingkatan, yakni Maqoshid Al-Syari’ah dharuriyat, hajiyyat, dan tahsiniyah.
1. Maqoshid Al-Syari’ah Dharuriyat (primer)
Yaitu hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia seperti bertitik tolak kepada lima perkara, yaitu: Agama, jiwa, akal, kehormatan (nasab), dan harta. Islam telah mensyariatkan bagi masing-masing lima perkara itu, hukum yang menjamin realisasinya dan pemeliharaannya. lantaran dua jaminan hukum ini, terpenuhilah bagi manusia kebutuhan primernya. Jika kebutuhan ini tidak terpelihara dengan baik, maka kehidupan manusia akan kacau, kemaslahatan tidak akan terwujud, baik di dunia maupun di akhirat.
2. Maqoshid Al-Syari’ah Hajiyyat (sekunder)
Yaitu hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder bagi manusia bertitik tolak kepada sesuatu yang dapat menghilangkan kesempitan manusia dan meringankan beban yang menyulitkan mereka. Ketiadaan aspek hajiyyat tidak sampai mengancam eksistensi kehidupan manusia menjadi rusak, melainkan hanya sekedar menimbulkan kesulitan dan kesukaran saja.
Sebagai salah satu contoh dalam hal ibadah Islam mensyariatkan beberapa hukum rukhsoh (keringanan) untuk meringankan beban mukallaf apabila ada kesullitan dalam melaksanakan hukum azimah (kewajiban). Contoh, diperbolehkannya berbuka puasa pada siang bulan ramadhan bagi orang yang sakit atau sedang bepergian dengan catatan mereka harus mengganti puasanya di hari lain di luar bulan Ramadhan atau harus membayar fidyah.
3. Maqoshid Al-Syari’ah Tahsiniyah
Yaitu tindakan yang pada prinsipnya berhubungan dengan pemeliharaan tindakan-tindakan utama dalam bidang ibadah, adat dan muamalah. Jika seandainya aspek ini tidak terpenuhi maka kehidupan manusia tidak akan terancam kekacauan.



Tujuan Maqoshid Al-Syari’ah
Pada dasarnya Maqoshid Al-Syari’ah bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia. Berikut ini adalah tujuan-tujuan dari Maqoshid Al-Syari’ah menurut para ulama, yaitu :
a) Agama
Agama merupakan persatuan akidah, ibadah, dan hukum yang mengatur segala hubungan manusia, baik hubungannya dengan Allah (vertikal) maupun hubungan dengan manusia lain (horizontal). Agama Islam merupakan agama tertinggi yang telah disempurnakan oleh Allah SWT dan Agama Islam merupakan agama rahmatan lil’alamin yang terjamin kebenarannya di hadapan Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S Al-Maidah : 3 yang artinya :
“Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”.
b) Memelihara Jiwa
Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman Qisas (pembalasan yang seimbang), diyat (denda) dan kafarat (tebusan) sehingga dengan demikian diharapkan agar seseorang sebelum melakukan pembunuhan, berfikir secara dalam terlebih dahulu, karena jika yang dibunuh mati, maka seseorang yang membunuh tersebut juga akan mati, atau jika yang dibunuh tersebut cidera, maka si pelakunya akan cidera yang seimbang dengan perbuatannya.
Allah melarang umat manusia untuk saling bunuh-membunuh, sebagaimana telah difirmankan dalam surat Al-Isra’ ayat 33 yang artinya :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”.
c) Memelihara Akal
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna dibandingkan dengan ciptaan-ciptaan Allah yang lainnya. Manusia diberikan akal dan pikiran oleh Allah SWT, dan sudah menjadi kewajiban kita untuk senantiasa menjaga dan merawat anugerah yang telah diberikan kepada kita.
Untuk menjaga akal tersebut, Islam telah melarang umatnya untuk minum Khamr (jenis menuman keras) dan setiap yang memabukkan dan menghukum orang yang meminumnya atau menggunakan jenis apa saja yang dapat merusak akal. Begitu banyak ayat yang menyebutkan tentang kemuliaan orang yang berakal dan menggunakan akalnya tersebut dengan baik.
d) Memelihara Keturunan
Untuk memelihara keturunan, Islam telah mengatur pernikahan dan mengharamkan zina, menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, sebagaimana cara-cara perkawinan itu dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga perkawinan itu dianggap sah dan percampuran antara dua manusia yang berlainan jenis itu tidak dianggap zina dan anak-anak yang lahir dari hubungan itu dinggap sah dan menjadi keturunan sah dari ayahnya. Islam tak hanya melarang zina, tapi juga melarang perbuatan-perbutan dan apa saja yang dapat membawa pada zina.
e) Memelihara Harta Benda
Pada hakikatnya segala sesuatu yang kita miliki di dunia ini adalah fana, semua yang kita miliki adalah sepenuhnya hak milik Allah bahkan jiwa dan raga kita pun sepenuhnya adalah milik-Nya yang sewaktu-waktu dapat diambil dari kita meski tanpa pemberitahuan terlebih dahulu pada kita. Meski demikian, Islam juga mengakui hak-hak pribadi seseorang. Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai mu’amalat seperti jual beli, sewa menyewa, penggadaian, dan lain-lain.

1 komentar: