Rabu, 07 Desember 2016

HUBUNGAN ANTARA ILMU DENGAN BUDAYA

Ilmu diakui memainkan peranan penting dalam dunia modern. Ruang lingkup ilmu harus diperluas; yakni, para sarjana harus mempelajari dan memahami dengan lebih baik cara pelaksanaan ilmu yang berfungsi sebagai suatu unsur dalam tatanan sosial yang lebih besar —barangkali dengan mengembangkan analisis yang lebih memadai terhadap struktur sosial atau barangkali dengan suatu perluasan berskala besar, terhadap metode-metode pelaksanaan penelitian. Terlepas dari hal lain, (mereka menunjukkan), penundaan sementara pada ilmu adalah suatu penundaan sementara pada dosa yang tidak dapat dilaksanakan.
Ia dapat dipaksakan hanya jika ketidaksepakatan politis mencapai suatu tingkat yang tidak dapat dibayangkan di kalangan para ilmuwan. Dalam absensi pemaksaan-pemaksaan tersebut, negeri-negeri yang berpikiran liberal hanya akan menempatkan dirinya pada kerugian yang tak perlu —baik ekonomis maupun militer— jika dibandingkan dengan negara-negara totalitarian. Daripada mengejar harapan yang sukar dicapai ini, para sarjana harus melakukan usaha yang lebih banyak pada tugas memahami baik prasyarat-prasayarat sosial perkembangan ilmiah yang efektif maupun prioritas-prioritas ekonomi dan politis yang terlibat di dalam penerapan praktis penelitian ilmiah.
Jika dibandingkan dengan kontroversi-kontroversi pada abad-abad terdahulu, perdebatan di antara ilmu dan agama dibungkam secara aneh sekarang ini. Dewasa ini hanya sedikit ruang kecil untuk nafsu-nafsu teologis yang menelan diskusi mengenai teori planet Copernikus yang baru, sejarah James Hutton tentang Bumi, atau teori Darwin tentang seleksi alamnya; dan orang akan ragu-ragu untuk berbicara lebih jauh, seperti yang begitu banyak dilakukan para nenek moyang kita, tentang peeprangan di antara ilmu dan agama sebagai hal yang tak terhindarkan. Memang benarlah bahwa segelintir penulis pendukung masih merasa kesulitan untuk memutuskan isu-isu seperti apakah eksistensi kehidupan pada dunia lain akan memerlukan penetapan kembali adanya kejatuhan ke dalam dosa dan penebusan yang diajarkan agama Kristen atau sebaliknya, dapat mendesakkan bahwa hasil-hasil eksplorasi astronomis menolak setiap keyakinan religius bahwa Tuhan adalah Pria Tua yang ada di langit. Akan tetapi, bagi sebagian besar orang, pertanyaan-pertanyaan tersebut telah sedemikian jauh kehilangan gigitannya yang terdahulu sehingga sekarang ini tampak sangat naif.
Apakah alasan bagi perubahan ini? Di zaman-zaman terdahulu, istilah kosmologi tidak hanya mencakup struktur astronomis kosmos dan asal-usul spesies manusia namun juga signifikansi religius tempat manusia di dalam alam. Sebaliknya, para teolog kontemporer, melihat fisika dan biologi sedikit banyak berhubungan dengan sikap-sikap religius dan keasyikan-keasyikan manusia daripada yang dilihat para pendahulunya. Akibatnya, ambisi manusia terdahulu mengkonstruksi suatu pandangan manusia yang tunggal dan menyeluruh, yang mencakup keenaran-kebenaran esensial baik ilmu maupun agama, tidak lagi memainkan bagian yang aktif dalam kehidupan intelektual seperti di zaman sebelumnya. Satu-satunya cabang ilmu yang masih mampu mendorong perdebatan teologis dengan penuh semangat, bahkan sampai sekarang, adalah ilmu-ilmu humaniora ketimbang ilmu-ilmu alamiah.
Perubahan fokus ini telah disertai oleh suatu perubahan dalam ide-ide tentang batas-batas intrinsik ilmu. Dulu diasumsikan bahwa batas-batas di antara ilmu dan aspek-aspek pengalaman manusia lainnya dapat didefinisikan dengan menandai tipe-tipe topik tertentu yang dianggap tertutup secara esensial kepada penyelidikan ilmiah. Pada satu generasi, jantung teritori terlarang ini masih diperhatikan; dan bagi generasi berikutnya, ia merupakan kehidupan; bagi generasi ketiga, merupakan penciptaan. Dalam pandangan ini, sesuatu yang ada di dalam hakikat esensial aktibitas mental atau aktivitas vital, atau di dalam asal-usul tatanan alam yang dibicarakan, tidak mungkin untuk memperlakukan ia sebagai fenomena yang terbuka bagi studi dan penjealsan melalui metode-metode rasional dan prosedur-prosedur intelektual yang berlaku pada ilmu.
Dalam kenyataannya, pandangan ini selalu mempunyai kelemahan, dari sudut-sudut pandang ilmiah maupun teologis. Kepada para ilmuwan, ia tampak memaksakan suatu larangan yang sewenang-wenang pada lingkungan cara-cara kerja mereka kemudian bertindak sebagai suatu tantangan dan gangguan yang tetap. Bagi para teolog, ia mempunyai kelemahan karena menempatkan klaim-klaim esensial agama, dapat diibaratkan dalam bubungan pasir yang terancam tenggelam suatu ketika akan muncul gelombang pasang —demikian juga dalam pengetahuan ilmiah. Jadi, secara diam-diam disetujui, batas-batas esensial ilmu saat ini didefinisikan di dalam istilah-istilah yang berbeda sama sekali. Batas-batas ini sekarang dikenali dengan mengakui bahwa sifat prosedur-prosedur ilmiah itu sendiri menempatkan batas-batas pada relevansi hasil-hasilnya. Seorang sarjana boleh memilih mempelajari objek-objek, sistem-sistem, atau proses-proses apa pun yang disenanginya, namun hanya pertanyaan-pertanyaan tertentu yang akan dapat dijawab di dalam istilah-istilah umum, teoretis yang khas pada ilmu.
Perubahan pendekatan ini mungkin tidak menjadikan masalh substantif —yang membatasi tapal batas ilmu secara eksak pada semua titik— jauh lebih mudah dibanding sebelumnya, maun ia mempunyai satu keunggulan yang asli; ia menghargai fakta yang sanagt penting, yang menarik perhatian khusus dalam survei ini, bahwa ciri khas ilmu terletak bukan pada tipe-tipe objek dan peristiwa yang dapat diakses ilmuwan melainkan dalam prosedur-prosedur intelektual yang dipakai dalam penyelidikan-penyelidikannya dan juga dalam jenis-jenis masalah yang membantunya mencapai solusi ilmiah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar