Kamis, 15 Desember 2016

Perilaku Masyarakat Baduy

Masyarakat baduy merupakan masyarakat yang seluruh aktivitasnya harus berlandaskan pada buyut karuhun (ketentuan adat) yang sudah tertera dalam pikukuh adat Baduy (larangan adat). Masyarakat Baduy tidak boleh mengubah dan tidak boleh melanggar segala yang ada dalam kehidupan ini yang sudah ditentukan. Keyakinan masyarakat Baduy bersumber dari ajaran Sunda Wiwitan, yaitu yaitu ngukus, ngawalu, muja ngalaksa, ngalanjak, ngapundayan dan ngareksakeun sasaka pusaka. Ajaran ini melahirkan pikukuh sebagaimana titipan karuhun (leluhur).
1. Cara berjalan orang Baduy
Orang-orang Baduy mengenal istilah huyunan yang artinya berjalan beruntun satu per satu. Huyunan menjadi kebiasaan berjalan orang Baduy karena kondisi jalan setapak di lereng pegunungan Kendeng tempat mereka hidup yang lebarnya hanya berkisar 1-2 meter. Menariknya, cara berjalan ini tetap dipertahankan meskipun orang-orang Baduy tengah berjalan di jalan besar perkotaan yang bukan lagi jalan setapak. Tata cara berjalan orang Baduy mensyaratkan orang tua atau orang yang ditokohkan harus berjalan paling depan, artinya menghargai para tetua dan melambangkan dalam setiap aktivitas apapun, masyarakat selalu mengikuti aturan adat. Cara berjalan ini juga memiliki tujuan etis yaitu untuk mencegah orang membicarakan atau menjelek-jelekkan orang lain yang itu tidak dibolehkan oleh adat, karena berjalan berdampingan akan menstimulus seseorang untuk membicarakan keburukan orang lain.

2. Aktivitas perladangan
Orang Baduy merupakan peladang murni. Berladang merupakan tumpuan pokok mata pencaharian mereka. Sistem perladangan yang dikenal berupa perladangan berpindah. Aktivitas berladang disebut ngahuma. Bagi warga Baduy yang sudah berkeluarga, wajib memiliki huma sendiri dan mematuhi tata aturan perladangannya.
Tradisi orang Baduy mengenal 5 macam huma berdasarkan fungsinya, yakni huma serang, huma puun dan kokolot, huma tangtu, huma tuladan, serta huma panamping. Huma serang merupakan huma adat milik bersama. Penggarapan huma ini dikerjakan secara bersama-sama oleh segenap masyarakat Baduy, baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar, dipimpin oleh pimpinan adat atau puun dengan waktu yang sudah ditetapkan oleh lembaga adat.

3. Upacara ngawalu, ngalaksa, dan seba
Ada tiga kegiatan upacara terkait dengan kegiatan perladangan yang harus diselenggarakan oleh orang Baduy. Ngawalu, adalah upacara dalam rangka “kembalinya” padi dari ladang ke lumbung dilakukan sebanyak tiga kali, masing-masing sekali dalam tiap-tiap bulan kawalu. Kawalu awal disebut kawalu tembeuy atau kawalu mitembeuy, kemudian kawalu tengah, dan terakhir kawalu tutug.
Ngalaksa, berarti kegiatan atau upacara membuat laksa, semacam mi tetapi lebih lebar, seperti kuetiaw yang terbuat dari tepung beras. Keterlibatan warga sangat dijunjung tinggi pada saat upacara ngalaksa karena upacara ini menjadi tempat perhitungan jumlah jiwa penduduk Baduy. Bahkan, bayi yang baru lahir maupun janin yang masih didalam kandungan juga akan masuk hitungan ketika upacara ngalaksa. Oleh karena sifatnya yang sakral, maka upacara ngalaksa dan kawalu tidak boleh disaksikan oleh orang luar, termasuk peneliti.
Seba, berasal dari kata nyaba artinya menyapa yang mengandung pengertian datang mempersembahkan laksa disertai hasil bumi lainnya kepada penguasa nasional. Substansi seba adalah silaturrahmi pemerintahan adat kepada pemerintah nasional seperti camat, bupati dan gubernur yang diadakan setahun sekali.

4. Aktivitas daur hidup
Terlihat kehidupan sehari-hari orang Baduy berjalan secara rutin, mulai dari bangun tidur, makan, ke huma, sampai tidur lagi.





Sumber:
Agnes, Priscillia. 2013. Pikukuh Adat Baduy; Pandangan Hidup Suku Baduy, diakses pada tanggal 14 Desember 2016, pukul 19.14 WIB [Online]
Mulyana, Iim. 2010. Perilaku Konformitas Masyarakat Baduy, diakses pada tanggal 15 Desember 2016, pada pukul 20.12 WIB [Online]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar