Minggu, 11 Desember 2016

ASAL USUL BANYUWANGI

Pada zaman dahulu di sebuah lembah yang terletak di kaki Gunung Gede, hiduplah masyarakat yang makmur dan sejahtera. Mereka hidup berdampingan satu sama lain. Mereka senantiasa menjaga kerukunan antar sesama, tak ada pertikaian ataupun permusuhan. Mereka selalu menyelesaikan masalah mereka dengan jalan musyawarah.
Masyarakat di daerah itu sebagian besar merupakan seorang petani dan sebagian lagi bermatapencaharian sebagai seorang pedagang. Kehidupan saling ketergantungan itu membuat kehidupan mereka sangat sejahtera. Tak ada kesenjangan sosial yang mencolok dari pola kehidupan masyarakat tersebut.
Masyarakat di lembah itu masih sangat mempercayai keberadaan roh-roh nenek moyang mereka. Mereka menjalankan ritual keagamaan di puncak Gunung Gede yang mereka anggap sebagai tempat bersemayamnya roh-roh nenek moyang mereka. Tak jarang pula orang-orang dari daerah lain menjadikan puncak Gunung Gede sebagai tempat untuk bersemedi atau untuk mencari kekayaan.
Masyarakat lembah Gunung Gede sangat menghormati budaya yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Salah satu budaya yang menjadi pegangan hidup mereka adalah budaya hidup bergotong-royong. Mereka bahu-membahu membantu sesama warga yang memerlukan pertolongan, sehingga masyarakat di lembah Gunung Gede terjamin kesejahteraannya.
Namun semua ketentraman dan kesejahteraan mereka mulai terusik saat pemerintah kolonial Belanda menjajah bumi pertiwi. Saat para penjajah menduduki lembah Gunung Gede, masyarakat merasa sangat tertekan. Satu-persatu tanah milik warga dibeli secara paksa dengan harga yang sangat minim.
Begitu pula dengan sistem perniagaannya. Perdagangan di lembah Gunung Gede dikuasai oleh pemerintah Belanda. Mereka membeli hasil panen warga dengan harga yang sangat tidak layak, lalu menjualnya lagi dengan harga yang tinggi. Karena hal itu banyak warga yang menderita karena tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Masyarakat lembah Gunung Gede tidak pernah menyangka perlakuan pemerintah kolonial Belanda akan sekejam ini. Awalnya pemerintah Belanda disambut kedatangannya dengan baik oleh warga. Mereka sangat berharap pemerintah Belanda akan membantu perekonomian warga di lembah Gunung Gede.
Pemerintah kolonial Belanda menjanjikan kesejahteraan hidup terhadap seluruh masyarakat di lembah Gunung Gede. Tetapi itu semua hanyalah kebohongan mereka agar bisa menguasai daerah itu. Pemerintah Belanda bekerja sama dengan salah satu tokoh masyarakat lembah Gunung Gede. Tokoh masyarakat di daerah itu sering dipanggil jawara. Jawara adalah orang yang tamak akan harta, ia selalu menganggap dirinya sangat hebat dibandingkan dengan orang lain. Jawara sebagai orang yang memiliki keunggulan dalam fisik dan kekuatan-kekuatan untuk memanipulasi kekuatan supernatural, seperti penggunaan jimat, sehingga ia disegani oleh masyarakat lembah Gunung Gede.
Bertahun-tahun lamanya masyarakat lembah Gunung Gede terjajah. Hak mereka mengolah sawah milik pemerintah kolonial tak terpenuhi. Mereka sangat menderita karena perlakuan Belanda yang sewenang-wenang. Tak ada yang bisa mereka perbuat, mereka hanya diam meratapi nasibnya tanpa ada perlawanan sedikitpun untuk menentang kekejaman Belanda.
Semenjak pemerintahan kolonial Belanda menaklukan kesultanan Banten, perlawanan dan pemberontakan rakyat Banten terhadap pemerintah kolonial tidak pernah berhenti. Salah satunya adalah percik-percik perlawanan masyarakat lembah Gunung Gede. Gerakan pemuda lembah Gunung Gede untuk menentang Belanda sudah mulai bergerilya. Gerakan perlawanan itu dipimpin oleh Ki Raden Ireng. 
Konon ia-lah yang memulai perlawanan terhadap Belanda. Ia mengajak pemuda lembah Gunung Gede untuk menentang dan melawan pemerintah Belanda. Ia bertekad untuk mengusir pemerintah Belanda dari tanah kelahirannya.
Ki Raden Ireng dan pasukannya terus berusaha menghancurkan pemerintah Belanda yang menduduki lembah Gunung Gede. Meski dengan perlawanan yang cukup sulit, Ki Raden Ireng tidak pernah patah semangat untuk menggempur pertahanan pemerintah Belanda.
Dengan dibantu oleh pasukan-pasukan dari daerah lain, akhirnya pemerintah Belanda berhasil dipukul mundur dari lembah Gunung Gede. Namun hal tersebut tidak serta merta merubah keadaan masyarakat lembah Gunung Gede. Mereka masih terjajah karena ulah jawara yang tamak akan kekuasaan dan harta.
Ki Raden Ireng melakukan perlawanan terhadap jawara yang masih bertindak sewenang-wenang terhadap masyarakat. Ia tak peduli seberapa hebat dan seberapa tangguh jawara yang sedang ia hadapi. Semua itu tak lain hanya demi kesejahteraan masyarakat lembah Gunung Gede.
Ternyata jawara merasa terusik dengan perlawanan yang dilakukan oleh Ki Raden Ireng. Sang jawara mencari akal agar Ki Raden Ireng bisa ia hancurkan dan ia berniat untuk membunuh Ki Raden Ireng. Beberapa kali percobaan pembunuhan ia lakukan untuk melenyapkan Ki Raden Ireng, namun semua itu sia-sia. Ia tak pernah berhasil membunuh Ki Raden Ireng.
Maka sang jawara mencari cara agar dapat melenyapkan Ki Raden Ireng. Ia berniat untuk memfitnah Ki Raden Ireng dan menghasut warga untuk mempercayainya.
Suatu hari Ki Raden Ireng difitnah melakukan pencurian di rumah sang jawara dan ia dituduh telah menggoda dan melakukan perbuatan tidak terpuji terhadap putri dari sang jawara. Ki Raden Ireng mengelak semua tuduhan yang dilontarkan oleh sang jawara. Karena sang jawara memberikan bukti-bukti palsu yang memberatkan Ki Raden Ireng, akhirnya masyarakat lembah Gunung Gede terhasut oleh hasutan jawara.
Karena kejadian tersebut Ki Raden Ireng dihukum sebagaimana hukuman yang berlaku di lembah Gunung Gede. Ia dihukum mati karena perbuatan yang sebenarnya tidak ia lakukan. Tak ada yang mempercayai Ki Raden Ireng, masyarakat lembah Gunung Gede sudah terhasut oleh omongan jawara. Mereka tak mau mendengarkan kesaksian dari Ki Raden Ireng.
Jawara dan masyarakat lembah Gunung Gede membawa Ki Raden Ireng ke sebuah gunung di bagian barat lembah. Di sana Ki Raden Ireng akan diadili karena perbuatannya. Sebelum hukuman dijatuhkan, Ki Raden Ireng meminta izin untuk berbicara kepada warga.
Ki Raden Ireng menunjukkan sebuah pohon bunga yang bernama “Kembang Tanjung” seraya bertitah, jika nanti ia mati dan tercium aroma wangi dari tempat ini maka ia terbukti tidak bersalah dan semua yang dituduhkan jawara terhadapnya adalah kebohongan belaka. Dan sebaliknya jika di tempat ini tercium aroma busuk maka ia terbukti bersalah. Setelah selesai berbicara, hukumanpun dilaksanakan.
Sebelum Ki Raden Ireng mati, ia mencabut “Kembang Tanjung” tersebut dan perlahan-lahan ada semburan air (banyu dalam bahasa jawa) yang memancar dari tanah tempat “Kembang Tanjung” tumbuh. Beberapa lama kemudian di tempat itu tercium aroma wangi yang semerbak. Saat itulah masyarakat lembah Gunung Gede tersadar dari hasutan sang jawara.
Kebenaranpun telah tampak namun terlambat. Ki Raden Ireng telah tiada. Ia telah meninggalkan begitu banyak jasa untuk lembah Gunung Gede. Setelah kejadian itu sang jawara dihukum sesuai dengan kesalahan yang telah ia perbuat.
Konon karena legenda itulah desa yang ada di lembah Gunung Gede dinamakan Desa Banyuwangi dan tempat di mana Ki Raden Ireng dihukum dinamakan Kampung Kembang Tanjung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar