Kamis, 15 Desember 2016

Masyarakat Baduy dalam Memandang Hidup

Suku baduy merupakan suku asli Banten yang mendiami lereng pegunungan Kendeng dengan luas wilayah sekitar 5.101,85 hektare. Secara administratif terletak di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. Berkisar 160 kilometer sebelah barat Kota Metropolitan Jakarta. Sebutan orang Baduy pada awalnya bukanlah berasal dari warga Baduy sendiri. Penduduk wilayah Banten Selatan yang sudah beragama Islam, biasa menyebut "Baduy" kepada orang-orang Kanekes yang tidak beralas kaki, pantang naik kendaraan, pantang sekolah formal, dan suka berpindah­-pindah seperti halnya orang Badawi di Arab.
Pendapat lain mengungkapkan bahwa sebutan “baduy” diberikan oleh pemerintahan kesultanan Banten ketika itu terhadap masyarakat asli banten yang enggan untuk menerima ajaran islam seperti halnya suku badui di masa nabi Muhammad SAW. Dan atas sikap penolakan mereka terhadap islam, sehingga mereka diasingkan ke daerah pedalaman. Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo.
Masyarakat Baduy memiliki keyakinan bahwa mereka adalah manusia pertama yang tinggal di bumi dan bermukin di pusat bumi. Seluruh aktivitas masyarakat Baduy harus berlandaskan pada buyut karuhun (ketentuan adat) yang sudah tertera dalam pikukuh adat Baduy (larangan adat). Masyarakat Baduy tidak boleh mengubah dan tidak boleh melanggar segala yang ada dalam kehidupan ini yang sudah ditentukan.
Keyakinan masyarakat Baduy bersumber dari ajaran Sunda Wiwitan. Ajaran ini melahirkan pikukuh sebagaimana titipan karuhun (leluhur). Pikukuh berdasarkan sistem budaya dan sistem religi Sunda Wiwitan inilah yang menyebabkan masyarakat Baduy memproteksi diri dari pengaruh modernisasi sekaligus menjadi pedoman perilaku orang-orang Baduy.
Segala aktivitas masyarakat Baduy harus berlandaskan rukun agama Sunda Wiwitan (rukun Baduy) yang merupakan ajaran agama Sunda Wiwitan yaitu ngukus, ngawalu, muja ngalaksa, ngalanjak, ngapundayan dan ngareksakeun sasaka pusaka. Ajaran tersebut harus ditaati melalui pemimpin adat yaitu Pu’un. Pu’un harus dihormati dan diikuti segalan aturannya karena Pu’un adalah keturunan Batara.
Prinsip yang dimiliki dan dijalani oleh masyarakat Baduy antara lain: tidak membangun permukiman dari bebatuan, semen, genting, paku atau produk industri modern lainnya. Berkali-kali tawaran pembangunan dari Pemerintah Propinsi maupun Kabupaten berupa pembangunan jalan, listrik masuk desa, balai pengobatan, sekolah hingga pengadaan alat tenun ditolak masyarakat Baduy karena dianggap bertentangan dengan ketentuan karuhun dan adat.
Apabila puun sudah menimbang dan memutuskan sesuatu, maka keputusan itu pula yang akan dilaksanakan segenap warga Baduy. Akibat penolakan-penolakan terhadap modernisasi diatas, program pemerintah hanya bisa dilakukan sampai perbatasan wilayah Baduy Luar, yaitu sampai Desa Ciboleger.




Sumber:
Agnes, Priscillia. 2013. Pikukuh Adat Baduy; Pandangan Hidup Suku Baduy, diakses pada tanggal 14 Desember 2016, pukul 19.14 WIB [Online]
Aldi, Nirta. 2014. Kehidupan Masyarakat Baduy, diakses pada tanggal 14 Desember 2016, pukul 19.14 WIB [Online]
Mulyana, Iim. 2010. Perilaku Konformitas Masyarakat Baduy, diakses pada tanggal 15 Desember 2016, pada pukul 20.12 WIB [Online]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar