Rabu, 07 Desember 2016

Kesenangan Harus Dicurigai?

Kesenangan merupakan cara yang paling sesuai dengan kodrat kita. Sekurang-kurangnya, kesenanganlah yang kita cari secara paling spontan. Pentinglah ditinjau peranannya dalam kehidupan afektif dan diakui betapa kesenagan itu perlu dalam kehidupan kita; tetapi juga kita harus memberi perhatian kepada apa yang ambigu di dalamnya.
Kesenangan itu apakah bersifat sensibel atau spiritual, tidak lain daripada “pemantauan subjektif dari pengintegrasian yang dialami si subjek”. Andaikata keseluruhan kecenderungan saya yang mendalam atau dari “selera-selera alamiah” saya sebagai roh yang dijelmakan merasa terpenuhi, maka dalam hal itu sebaiknya kita memakai istilah kebahagiaan daripada istilah kesenangan.
Lawan dari kesenangan adalah penderitaan. Penderitaan adalah cara afektif yang timbul dalam diri kita oleh karena salah satu dari kecenderungan-kecenderungan kita dilawan, dirintangi, digagalkan, entah karena objek kecenderungan itu luput atau ditarik kembali dari kita, entah kita tidak sampai mencapainya, mempergunakannya, atau berkomunikasi dengannya. Penderitaan mengandung arti penolakan dan protes si subjek terhadap suatu pengecilan dari kepribadiannya, sedangkan sengsara lebih baik dikatakan menunjukkkan pengecilan itu sendiri.
Istilah-istilah kesenangan dan penderitaan dikatakan bukan hanya tentang terpenuhi atau tidak terpenuhinya suatu kebutuhan jenis biologis, tetapi juga tentang terkabul atau tidak terkabulnya suatu kecenderungan jenis rohaniah. Kita memakai istilah kegembiraan untuk menunjukkan suatu kesenangan dimana roh ambil bagian yang besar. Namun, ini belum cukup. Masih harus ditambah bahwa kesenangan hanya ada hubungan dengan kepuasan sementara dari satu kecenderungan saja, sedangkan kegembiraan itu dapat dikenal berkat sifat kesempurnaan dan terpenuhinya.
Kecurigaan dari para moralis terhadap kesenangan atau sekurang-kurangnya kekerasan mereka terhadap orang-orang yang dalam segala hal mencoba melulu mencari kesenangan mereka, tidak tanpa dasar. Sebab manusia dari satu pihak berusaha mencari “yang mutlak” dan kerinduan akan yang tak terbatas, dan sebab dari lain pihak ia adalah jasmani dan terbatas, maka secara spontan ia dapat cenderung untuk memenuhi kebutuhannya akan yang mutlak dengan memakai hal-hal yang nisbi, dan untuk memproyeksikan keinginannya akan yang tak terbatas di dalam realitas terbatas yang ditemukan atau dilaksanakannya. Dari situlah bisa muncul instabilitasnya dalam pengejaran kesenangan-kesenangan yang mudah tercapai baginya, yaitu kesenangan-kesenangan elementer, seperti minum, makan, atau kesenangan memiliki dan menguasai.
Dalam perspektif ini, dapatlah dimengerti relevansi seruan-seruan untuk hidup sederhana dan menguasai diri; seruan-seruan yang tak henti-hentinya disampaikan kepada kita oleh ahli-ahli filsafat zaman kuno, seperti juga ajakan-ajakan untuk bermati raga secara sukarela akan kesenangan-kesenangan, bahkan juga yang tak haram. Ajakan-ajakan seperti itu masih bergema dalam anjuran-anjuran rohaniwan dari semua agama yang besar.

1 komentar: