Selasa, 22 November 2016

GEOPOLITIK TIMUR TENGAH

GEOPOLITIK TIMUR TENGAH

Membincang Geopolitik berarti mengkaji aspek politis dalam wilayah geografi yang cakupannya meliputi sumber daya, keadaan sosial dan budaya kemasyarakatannya. Aspek politiknya mencakup masalah internal dalam satu wilayah negara, serta politik luar negerinya.
Politik luar negeri dalam perspektif Geopolitik Timur Tengah sendiri mencakup hubungan bilateral antar negara di dalam wilayah Timur Tengah, dan dengan dunia Internasional di luar Arab dengan cakupan wilayah lebih luas. Sehingga Geopolitik Timur Tengah bisa dibaca sebagai sebuah studi yang menggambarkan hubungan negara-negara di wilayah tersebut, dalam peran dan tujuan politiknya yang saling memperjuangkan kepentingannya terhadap dunia Internasional. Hubungan ini juga berlaku sebaliknya, yaitu kepentingan dunia Internasional terhadap kawasan Timur Tengah.
Sebagai kawasan “Timur Tengah”, kawasan orang-orang timur (baca:belahan bumi timur dan barat), dan berada di tengah-tengah peta dunia, gejolak politik kawasan ini memiliki keunikan dan ketertarikan sendiri dibandingkan kawasan bumi lain. Permasalahan-permasalahan transnasional seperti keamanan, politik ekonomi dan sosial menjadi isu hangat dan tidak ada habisnya untuk diperbincangkan.
Beraneka ragamnya isu yang muncul dan berkembang di Timur Tengah, menjadikannya pada posisi semakin penting dalam percaturan Internasional. Isu-isunya tak hanya melibatkan negara-negara di dalam kawasan Timur Tengah saja, namun melibatkan dunia Internasional. Posisinya tidak sebatas sebagai yang punya kepentingan, akan tetapi menjadi yang dipentingkan. Bahkan dalam beberapa bidang tertentu, menjadi pusat/sentralnya, sehingga kestabilan pemerintahan dalam negerinya tidak hanya menjadi tanggung jawab pribadi, akan tetapi menjadi tanggung jawab bersama.
Isu-isu Timur Tengah yang dibingkai dalam satu kesatuan kajian Geopolitik mengalami transformasi yang signifikan. Beberapa isu cenderung surut dan tak lagi diperhatikan, namun di beberapa isu lain semakin berkembang, bahkan menjadi pemicu lahirnya permasalahan-permasalahan baru.
Ada beberapa isu penting yang perlu kita ketahui dalam kajian Geopolitik Timur Tengah. Isu-isu tersebut seakan tiada pernah redup untuk selalu bergejolak dan berkembang, bahkan umumnya melibatkan dunia Internasional secara serius.
1. Garis Perbatasan
Dalam seminar Romanes Lecture (1907), Lord Curzon mengutarakan bahwa Garis Negara/Perbatasan merupakan ibarat sisi tajam pisau, yang dengan ketajamannya telah mempengaruhi isu (pemicu) perang zaman modern dan perdamaiannya. Praktik atas analogi yang disampaikan oleh Curzon mengingatkan betapa sensitifnya permasalahan perbatasan, yang jika diusik/disentuh, ketajamannya akan melukai dan kemudian mengalirkan darah, yang dalam ini adalah peperangan. Hampir seabad, mencakup dua perang besar dunia dan berlanjut pada perang dingin, masalah perbatasan menjadi perhatian utama dalam studi dan praktik hubungan Internasional.
Pada abad 20 berkembang sebuah pola bahwa negara akan menjadi besar dan tumbuh kuat dengan cara mengenspansi ke wilayah sekitarnya. Karena itu pembentukan batas-batas internal yang diakui sangat penting dalam hal kedaulatan, legitimasi dan kelangsungan hidup (Darwin). Sehingga, detail atas batasan-batasan teritorial sebuah negara dengan negara-negara di sekitarnya harus diperjelas dan dituntaskan serta disepakati.
Di Timur Tengah, masalah perbatasan teritorial di beberapa negaranya belum tertuntaskan, bahkan beberapa tidak ada tanda-tanda adanya jalan tengah dan terciptanya perdamaian. Konflik Israel-Palestina misalnya, sebagai kepanjangan atas sejarah konflik masa lampau, keduanya semakin sengit melancarkan konfrontrasi perbatasan. Konflik antara keduanya melibatkan dunia Internasional, dunia Islam, dunia Arab dan sang adidaya Amerika Serikat, sekutunya Israel.

2. Senjata Pemusnah Massal
Senjata pemusnah massal atau weapons of mass destruction (WMD) yang terdiri dari nuklir, biologi dan kimia (Nubika) saat ini menjadi isu yang semakin mengemuka di Timur Tengah, terutama setelah munculnya berbagai teror biologi dan kimia pada beberapa perang terakhir. Isu senjata pemusnah massal semakin sunter dikaji dewasa ini, terutama setelah Iran mendeklarasikan dirinya serbagai negara yang mampu memperkaya Uranium. Sumber ancaman dari nuklir pun telah meluas hingga ke tingkat zat radioaktif. Oleh karena itu ancaman Nubika yang semula dikenal dengan istilah NBC, kini telah berkembang menjadi CBRN (Chemical, Biological, Radiological and Nuclear). Penggunaan sejata biologi dan kimia dilarang oleh perjanjian Internasional (1968) dan dikontrol oleh organisasi NPT (Non-Proliferation Treaty).
Di timur tengah, kedua jenis senjata terlarang tersebut pernah digunakan. Pada perang teluk (1991) misalnya, pasukan sekutu yang dimotori oleh Amerika menggunakannya dan mengakitbatkan bencana kanker yang menyebar di Irak. Pun, juga terjadi pada perang 1988 antara Irak dan Iran, dimana Irak dengan orang-orang Kurdish menyerang kawasan Halabja dengan senjata gas pemusnah massal yang mengakibatkan 5000 orang mati. Penggunaan senjata ini digunakan kembali pada dua tahun berikutnya, saat Irak menyerang daerah Fao dan Mehran.
Berbeda dengan kasus Irak, kasus senjata terlarang yang dituduhkan kepada Iran bermula dari pengembangan teknologi energi nuklir oleh negeri para mullah itu. Iran memang mempunyai sumber minyak bumi untuk menopang kebutuhan energi di negaranya, namun minyak sebagai sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui membuat Iran harus menghemat penggunaan minyak mereka. Oleh karena itu, pemerintah Iran sejak rezim Shah berusaha mencari sumber energi alternatif untuk menunjang sekor industri dalam negerinya.
Iran memilih untuk mengembangkan teknologi engergi nuklir sebagai alternatifnya. Keputusan Iran tersebut didasarkan atas salah satu poin dalam Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) yang menyebutkan bahwa semua negara berhak mengembangkan teknologi nuklir sepanjang untuk kepentingan damai. Oleh karena itu Iran berpendapat bahwa teknologi nuklir adalah hak semua negara untuk memilikinya. Negara-negara pemilik senjata nuklir tidak berhak melarang Iran untuk menghentikan program pengayaan uraniumnya.
Iran mencoba memahami kekhawatiran dari sejumlah negara atas program nuklirnya, dan telah berusaha meyakinkan dunia internasional akan hal ini. Usahanya diupayakan melalui pernyataannya secara langsung maupun dengan tindakan kerjasamanya dengan International Atomic Energy Agency (IAEA); bahwa program yang dilakukan Iran tidak akan membahayakan perdamain dunia. Perdamaian dunia adalah salah satu misi besar Revolusi Islam Iran. Namun, Ahmadinejad tidak dapat mengerti akan arogansi dan sikap keras kepala yang ditunjukkan Amerika dan sekutu-sekutunya untuk terus menekan dan memaksa Iran untuk menghentikan program pengayaan uraniumnya.
Faktanya, sikap berbeda ditunjukkan oleh Amerika dalam menyikapi program nuklir yang dilakukan Pakistan, India, maupun Israel. Ketiga negara ini tidak mendapatkan tekanan sekeras Iran saat mengembangkan senjata nuklir, pun saat mereka tidak mau menandatangani NPT. Bahkan, Amerika memberikan dukungan dan bantuan pengembangan nuklir kepada tiga negara tersebut. Yang menjadi pertanyaan mendasar Iran adalah mengapa Iran yang hanya melakukan pengayaan uranium untuk kebutuhan listriknya mendapat berbagai ancaman, desakan, dan tekanan dengan berbagai cara dari Amerika?. Sikap Amerika yang menerapkan standar ganda tidak dapat diterima oleh Iran.
Iran berusaha membangun kerjasama dengan negara-negara di dunia yang menghormati Iran, termasuk Amerika Serikat. Namun, Iran tidak akan membuka diri dengan Israel, sebab ia tidak mengakui keberadaan Israel sebagai sebuah negara yang berdiri di atas tanah air rakyat Palestina. Oleh karena Amerika dan negara-negara Eropa yang menjadi sekutunya menunjukkan sikap arogan dan berprasangka buruk pada program nuklirnya, maka Iran lebih mendekatkan diri dengan Rusia, China, Kuba, danVenezuela yang selama ini memiliki sikap berseberangan dengan Amerika. Di samping itu, Iran berusaha untuk membangun hubungan yang erat dengan negara-negara teluk pengekspor minyak diTimur Tengah sebagai salah satu usahanya untuk menjalin hubungan harmonis dengan negara-negara Islam sekaligus upaya menjaga perdamaian di wilayah Timur Tengah. Belajar dari perang teluk I dan II yang telah merugikan Iran dan menyebabkan renggangnya hubungan diantara negara-negara di kawasan Timur Tengah.

3. Minyak Bumi
Energi dan Sumber Daya Alam (SDA) menjadi salah bahan kajian utama Geopolitik semenjak lahirnya era minyak. Ketika industri hanya masih memproduksi batu bara, isunya belum berkembang. Dalam banyak kasus, banyak negara telah menjadi negara industri yang besar berdasar SDA yang mereka punya, terutama batu bara. Awalnya, perdagangan global sepenuhnya tergantung pada pengiriman kargo oleh kapal-kapal yang turbinnya ditenagai oleh uap batu bara. Terdapat beberapa port/pelabuhan yang menyediakan pengisian bahan bakar, seperti di teluk Aden di jalur laut utama, yang mana diperuntukan untuk memperlancar operasi kapal-kapal kargo yang berlabuh di wilayah Arab.
Pada awal abad dua puluh, ketergantungan akan minyak bumi mulai tumbuh, awalnya untuk kebutuhan tenaga perkapalan, kemudian untuk industri, dan kemudian situasi kebutuhan berubah secara radikal ke segala aspek kehidupan. Kebutuhan industri akan energi minyak bumi saat itu tidak sepadan dengan sumber daya minyak yang masih minim. Namun segera dijawab dengan ditemukannya sumber minyak di dataran timur tengah, utamanya di lembah Eufrat, Irak. Disana dan beberapa negara timur tengah, terbangun kilang-kilang minyak yang hak produksinya dominasi oleh asing, utamanya Inggris yang berhasil mendapat hak kontrol atas Irak setelah berakhirnya perang dunia pertama.
Di Era lebih modern, dunia Timur Tengah, khususnya kawasan semenanjung Arab dan Persia semakin mendominasi produksi minyak dunia. Pada tahun 1997, 60% kebutuhan minyak dunia dipasok dari negara-negara kawasan ini. Jika dahulu kawasan semenanjung Arab dilihat dari kacamata peradaban yang melahirkan agama-agama Samawi, sekarang ini kepentingan dunia lebih tersorot pada nilai ekonomi yang dihasilkan oleh puluhan ribu kilang minyak yang ada.
Munculnya kilang-kilang minyak di sebagian wilayah Timur Tengah, merangsang perekonomian negara asalanya, salah satu kemampuannya ialah pembiayaan pembangunan. Karena tidak semua negera mempunyai harta black gold (Emas Hitam) tersebut, pada perkembangannya, terdapat perbedaan sangat mencolok di bidang ekonomi antara negara penghasil dan negeri non-penghasil, sebagai negara kaya dan negara miskin. Namun, ternyata si kaya tidak menutup mata akan keadaan kemiskinan negeri non-penghasil minyak. Faktanya, pada tahun 1970-an, beberapa lembaga seperti organisasi negeri-negeri Arab pengekspor minyak (OPEC) dan lembaga swasta oleh Kuwait, Arab Saudi dan Abu Dhabi memberi bantuan dengan jumlah besar kepada negeri-negeri berkembang di sekitar wilayah mereka. Pada 1979, sekitar $2 miliar diberikan melalui berbagai bidang. Bantuan tersebut nilainya kecil jika dibanding dengan kekayaan mereka, karena jumlah tersebut hanya sekitar 2,9% dari hasil kotor nasional (GNP) negeri-negeri penghasil minyak tersebut.
Minyak merupakan sentral perekonomian dunia saat ini. Kestabilan ekonomi akan terganggu jika sumber energi yang menghidupinya terganggu, sehingga konsekwensinya, kestabilan keamanan kilang-kilang minyak harus dijaga. Jika tidak, maka pasokan minyak bumi terganggu dan inflasi harganya terganggu dan iflasi eknomi duniapun ikut serta. Dengan kata lain, dengan ketergantungan ini, penguasaan atas minyak bumi berarti penguasaan terhadap perekonomian dunia. Itu yang saat ini terjadi, dan itu yang membuat minyak menjadi senjata politik dunia.
Peristiwa geopolitik yang mempengaruhi pasokan minyak berikut harganya sudah kerap terjadi. Embargo minyak oleh Liga Arab pada perang Arab-Israel pada tahun 1974 telah menimbulkan krisis minyak dunia, dan merupakan pertama kalinya minyak dipakai sebagai alat politik. Berikutnya, revolusi Iran pada 1979 yang diikuti perang Irak-Iran telah menciptakan krisis minyak kedua. Berikutnya, Invasi Irak ke Kuwait pada 1990 juga sempat membuat harga minyak meroket kembali, dan kembali turun setelah ketegangan berakhir. Lebih parah lagi, di awal 2003, dimana invasi atas Irak oleh Amerika yang bebarengan dengan krisis politik di Venezuela dan Nigeria menyebabkan dunia kekurangan lebih dari empat juta barel minyak per hari.
Setelah minyak digunakan sebagai senjata politik oleh negaranegara Arab terkait perang Arab- Israel pada 1973-1974, Amerika Serikat dan sekutunya merancang skenario agar negara-negara Timur Tengah terpecah dan tidak bisa kompak menggunakan kembali minyak sebagai senjata politik. Arab Saudi, pemilik cadangan minyak terbesar di dunia, dimanjakan Amerika Serikat dengan berbagai bentuk bantuan seperti persenjataan canggih, penasihat militer, instruktur,dan teknisi. Melalui operasi Badai Gurun, Amerika Serikat juga melindungi Arab Saudi dan Kuwait dari invasi Irak pada 1990. Sebagai kompensasi, Amerika Serikat meminta bantuan uang minyak Saudi untuk membiayai operasi CIA menggulingkan rezim-rezim kiri yang didukung Uni Soviet di Afghanistan, Nikaragua, dan lain-lain.
Para pengambil kebijakan Amerika Serikat, yang sebenarnya enggan bermitra dengan rezim monarki yang dianggapnya “antidemokrasi” setuju bahwa akses terhadap minyak Saudi adalah bagian dari agenda nasional yang harus dipertahankan. Amerika Serikat juga secara tidak langsung mengobarkan perang Irak-Iran pada 1980. Ketika Irak menginvasi Iran pada September 1980,Washington menyatakan netral dan menjatuhkan embargo kepada pihak-pihak yang bertikai.
Namun, ketika Iran berada di atas angin dan mengancam kepentingan minyak Amerika Serikat di Arab Saudi dan Kuwait, Washington diam-diam menyokong Irak dengan memberinya pinjaman uang, dukungan intelijen, dan transfer senjata secara gelap. Kawasan Timur Tengah yang kaya minyak lantas menjelma sebagai negara yang terpecah-pecah. Arab Saudi tidak mungkin bisa mengambil kembali peran yang pernah dimainkannya pada 1973 yang kompak menghukum Amerika Serikat melalui embargo minyak karena membela Israel dalam perang Arab-Israel.
Arab Saudi yang sudah berada di bawah kontrol Washington tidak mungkin bisa mencegah invasi Amerika Serikat ke Irak pada 2003. Arab Saudi juga tidak bisa berbuat apaapa ketika Israel menyerang Libanon pada 2006.Bersama negaranegara Arab lain,Arab Saudi diamdiam bahkan menyokong dijatuhkannya sanksi terhadap Iran yang menolak menghentikan program nuklirnya.
Dalih apa pun bisa digunakan, tapi motif yang sebenarnya adalah minyak! Masih sangat membekas dalam ingatan, dengan dalih menyimpan senjata pemusnah massal, Amerika Serikat menumbangkan Saddam Hussein dan menguasai Irak,pemilik cadangan minyak terbesar ketiga di dunia. Publik Amerika Serikat sadar bahwa motif utama invasi Irak adalah minyak, sebagaimana terungkap dalam poster-poster protes mereka yang berbunyi “No Blood for Oil”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar