Selasa, 18 Oktober 2016

Hambatan yang Dialami oleh Anak Berkebutuhan Khusus (Tunagrahita)

Perkembangan fungsi intelektual anak tunagrahita yang rendah dan disertai dengan perkembangan perilaku adaptif yang rendah pula akan berakibat langsung kepada kehidupan mereka sehari-hari, sehingga ia banyak mengalami kesulitan dalam hidupnya. Masalah-masalah yang dihadapi mereka secara umum meliputi; masalah belajar, masalah penyesuaian diri terhadap lingkungan, masalah gangguan bicara dan bahasa, dan gangguan kepribadian.
a. Hambatan dalam Belajar
Aktivitas belajar berkaitan langsung dengan kemampuan kecerdasan. Di dalam kegiatan belajar sekurang-kurangnya dibutuhkan kemampuan mengingat dan kemampuan untuk memahami, serta kemampuan untuk mencari hubungan sebab akibat. Keadaan seperti itu sulit dilakukan oleh anak tunagrahita. Mereka mengalami kesulitan untuk dapat berfikir secara abstrak, belajar apapun harus terkait dengan obyek yang bersifat konkrit. Anak tunagrahita dalam mempelajari sesuatu kerap kali melakukannya dengan cara coba-coba (trial and error).
b. Hambatan Belajar Bahasa (membaca dan menulis)
Anak tunagrahita mengalami kesulitan tertentu dalam menguasai gramatikal, bahasa anak tunagrahita bersifat konkrit, Anak tunagrahita tidak dapat menggunakan kalimat majemuk, ia akan banyak menggunakan kalimat tunggal dan pendek.
c. Hambatan dalam Penyesuaian Diri dengan Lingkungan
Anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam memahami dan mengartikan norma lingkungan. Oleh karna itu anak tunagrahita sering melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan norma lingkungan dimana mereka berada. Tingkah laku anak tunagrahita sering dianggap aneh oleh sebagaian anggota masyarakat karena mungkin tindakannya tidak lazim.
Keganjilan tingkah laku yang tidak sesuai dengan ukuran normative. lingkungan berkaitan dengan kesulitan memahami dan mengartikan norma, sedangkan keganjilan tingkah laku lainnya berkaitan dengan ketidaksesuaian antara perilaku yang ditampilkan dengan perkembangan umur.
d. Hambatan pada Kepribadian
Anak tunagrahita memiliki ciri kepribadian yang khas, berbeda dari anak-anak pada umunya. Anak tunagrahita cenderung akan dikucilkan dari pergaulan kelompok sebaya, sehingga ada kecenderungan anak tunagrahita tidak mempunyai teman. Penolakan teman sebaya terhadap anak tunagrahita, karena kesulitan anak tunagrahita belajar keterampilan sosial yang diperlukan dalam pergaulan.

Kondisi Pelayanan Pendidikan Anak Tunagrahita

Kondisi Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi
1. Pemahaman inklusi dan implikasinya
a. Pendidikan inklusif bagi anak berkelainan/penyandang cacat belum dipahami sebagai upaya peningkatan kualitas layanan pendidikan. Masih dipahami sebagai upaya memasukkan disabled children ke sekolah regular dalam rangka give education right and kemudahan access education, and againt discrimination.
b. Pendidikan inklusi cenderung dipersepsi sama dengan integrasi, sehingga masih ditemukan pendapat bahwa anak harus menyesuiakan dengan sistem sekolah.
c. Dalam implementasinya guru cenderung belum mampu bersikap proactive dan ramah terhadap semua anak, menimbulkan komplain orang tua, dan menjadikan anak cacat sebagai bahan olok-olokan.

2. Kebijakan sekolah
a. Sekalipun sudah didukung dengan visi yang cukup jelas, menerima semua jenis anak cacat, sebagian sudah memiliki guru khusus, mempunyai catatan hambatan belajar pada masing-masing ABK, dan kebebasan guru kelas dan guru khusus untuk mengimplementasikan pembelajaran yang lebih kreatif dan inovatif, namun cenderung belum didukung dengan koordinasi dengan tenaga profesional, organisasi atau institusi terkait.
b. Masih terdapat kebijakan yang kurang tepat, yaitu guru kelas tidak memiliki tangung jawab pada kemajuan belajar ABK, serta keharusan orang tua ABK dalam penyediaan guru khusus

3. Proses pembelajaran
a. Proses pembelajaran belum dilaksanakan dalam bentuk team teaching, tidak dilakukan secara terkoordinasi.
b. Guru cenderung masih mengalami kesulitan dalam merumusakan flexible curriculum, pembuatan IEP, dan dalam menentukan tujuan, materi, dan metode pembelajaran.
c. Masih terjadi kesalahan praktek bahwa target kurikulum ABK sama dengan siswa lainnya serta anggapan bahwa siswa cacat tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk menguasai materi belajar.
d. Karena keterbatasan fasilitas sekolah, pelaksanaan pembelajaran belum menggunakan media, resource, dan lingkungan yang beragam sesuai kebutuhan anak.

4. Kondisi guru
a. Belum didukung dengan kualitas guru yang memadai. Guru kelas masih dipandang not sensitive and proactive yet to the special needs children.
b. Keberadaan guru khusus masih dinilai belum sensitif dan proaktif terhadap permasalahan yang dihadapi ABK.

5. Sistem dukungan
a. Belum didukung dengan sistem dukungan yang memadai. Peran orang tua, sekolah khusus, tenaga ahli, perguruan tinggi – LPTK PLB, dan pemerintah masih dinilai minimal. Sementara itu fasilitas sekolah juga masih terbatas.
b. Keterlibatan orang tua sebagai salah satu kunci keberhasilan dalam pendidikan inklusi, belum terbina dengan baik. Dampaknya, orang tua sering bersikap kurang peduli dan realistik terhadap anaknya.

Model dan Layanan Pendidikan terhadap Anak Tunagrahita
Pelayanan pendidikan bagi anak tunagrahita meliputi:
a. Inklusi penuh
ABK belajar bersama anak-anak non-ABK dalam satu kelas reguler sehari penuh.
b. Kelas reguler dengan kluster
ABK belajar bersama di kelas reguler sehari penuh dalam kelompok khusus.
c. Kelas reguler dengan full out
ABK belajar bersama di kelas reguler, tetapi dalam waktu tertentu belajar di ruang khusus dengan guru pembimbing khusus.
d. Kelas reguler dengan kluster dan full out
ABK belajar bersama di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu tertentu belajar di ruangan khusus.
e. Kelas khusus dengan pengintegrasian
ABK belajar di kelas khusus dan pada mata pelajaran tertentu masuk kedalam kelas reguler.
f. Kelas khusus penuh
ABK belajar dalam kelas khusus seharian dan bergabung dengan non-ABK hanya dipersatukan pada saat istirahat dan bermain.


Kompensatoris dan Cara Tepat dalam Mendidik yang Diterapkan Pada Anak Tunagrahita
Keterbatasan kecerdasan yang di miliki anak tunagrahuta menjadi kendala utama dalam belajar. Hal demikian mengharuskan guru memiliki cara-cara khusus yang tepat digunakan dalam mendidik anak tunagrahita.
a. Materi pembelajaran bagi anak tunagrahita harus dirinci dan sedapat mungkin di mulai dari hal-hal konkrit, mengingat mereka mengalami keterbatasan dalam berfikir abstrak.
b. Materi yang bersifat akademik tetap di berikan sampai mereka memperlihatkan ketidakmampuannya.
c. Materi pelajaran keterampilan memiliki bobot yang tinggi karena melalui materi ini di harapkan mereka dapat memiliki suatu keterampilan sebagai bekal hidupnya.
d. Materi pelajaran bina diri bagi anak tunagrahita harus diprogamkan secara rinci dan mendapat bobot yang tinggi.
e. Menerapkan strategi pembelajaran yang diindividualisasikan dimana mereka belajar bersama-sama dalam satu kelas tetapi kedalaman dan keluasan materi, pendekatan/metode maupun teknik berbeda-beda di sesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap peserta didik.
f. Alat/media yang digunakan dalam pembelajaran harus memperhatikan beberapa kriteria, seperti: anak memiliki tanggapan tentang yang di pelajarinya, tidak mudah rusak, tidak berbahaya, tidak abstrak, dapat di gunakan anak dan mudah diperoleh.
g. Evaluasi belajar dalam pembelajaran harus dilakukan setelah mempelajari salah satu bagian kecil dalam materi pembelajarannya, dan setelah itu barulah kita pindah pada materi berikutnya.

Definisi, Klasifikasi, Penyebab dan Ciri-ciri Anak Tunagrahita

A. Pengertian Tunagrahita
Tunagrahita adalah keadaaan keterbelakangan mental, keadaan ini dikenal juga retardasi mental (mental retardation). Tunagrahita merupakan asal dari kata tuna yang berarti “merugi” sedangkan grahita yang berarti “pikiran”. Tunagrahita merupakan kata lain dari Retardasi Mental (Mental Retardation) yang artinya terbelakang mental.
Tunagrahita juga memiliki istilah- istilah sebagai berikut:
a. Lemah fikiran (feeble minded)
b. Terbelakang mental (Mentally Retarded)
c. Bodoh atau dungu (idiot)
d. Cacat mental
e. Mental Subnormal, dll.
Anak tunagrahita adalah individu yang secara signifikan memiliki intelegensi dibawah intelegensi normal. Menurut American Asociation on Mental Deficiency mendefinisikan Tunagrahita sebagai suatu kelainan yang fungsi intelektual umumnya di bawah rata- rata, yaitu IQ 84 ke bawah. Biasanya anak- anak tunagrahita akan mengalami kesulitan dalam “Adaptive Behavior” atau penyesuaian perilaku. Hal ini berarti anak tunagrahita tidak dapat mencapai kemandirian yang sesuai dengan ukuran (standard) kemandirian dan tanggung jawab sosial anak normal yang lainnya dan juga akan mengalami masalah dalam keterampilan akademik dan berkomunikasi dengan kelompok usia sebaya.
Antara autisme dan tunagrahita terdapat perbedaan mendasar sehingga perlakuan yang diberikan pun harus berbeda. Menurut Mudjito, autisme ialah anak yang mengalami gangguan berkomunikasi dan berinteraksi sosial serta mengalami gangguan sensoris, pola bermain, dan emosi. Penyebabnya karena antar jaringan dan fungsi otak tidak sinkron. Ada yang maju pesat, sedangkan yang lainnya biasa- biasa saja. Survei menunjukkan, anak-anak autisme lahir dari ibu-ibu kalangan ekonomi menengah ke atas. Ketika dikandung, asupan gizi ke ibunya tak seimbang. Adapun tunagrahita adalah anak yang mengalami hambatan dan keterbelakangan mental, jauh di bawah rata-rata. Gejalanya tak hanya sulit berkomunikasi, tetapi juga sulit mengerjakan tugas-tugas akademik. Ini karena perkembangan otak dan fungsi sarafnya tidak sempurna. Anak-anak seperti ini lahir dari ibu kalangan menengah ke bawah. Ketika dikandung, asupan gizi dan zat antibodi ke ibunya tidak mencukupi.
Anak tunagrahita memiliki fungsi intelektual tidak statis. Kelompok tertentu, termasuk beberapa dari down syndrome, memiliki kelainan fisik dibanding teman- temannya, tetapi mayoritas dari anak tunagrahita terutama yang tergolong ringan, terlihat sama seperti yang lainnya. Dari kebanyakan kasus banyak anak tunagrahita terdeteksi setelah masuk sekolah. Tes IQ mungkin dapat dijadikan indicator dari kemampuan mental seseorang. Kemampuan adaptif seseorang tidak selamanya tercermin pada hasil tes IQ. Latihan, pengalaman, motivasi, dan lingkungan social sangat besar pengaruhnya pada kemampuan adaptif seseorang. Ketunagrahitaan mengacu pada sifat intelektual umum yang secara jelas dibawah rata-rata, bersama kekurangan dalam adaptasi tingkah laku dan berlangsung pada masa perkembangan.
a. Anak tunagrahita memiliki kecerdasan dibawah rata-rata sedemikian rupa dibandingkan dengan anak normal pada umumnya.
b. Adanya keterbatasan dalam perkembangan tingkah laku pada masa perkembangan
c. Terlambat atau terbelakang dalam perkembangan mental dan social
d. Mengalami kesulitan dalam mengingat apa yang dilihat, didengar sehingga menyebabkan kesulitan dalam berbicara dan berkomunikasi
e. Mengalami masalah persepsi yang menyebabkan tunagrahita mengalami kesulitan dalam mengingat berbagai bentuk benda (visual perception) dan suara (audiotary perception)
f. Keterlambatan atau keterbelakangan mental yang dialami tunagrahita menyebabkan mereka tidak dapat berperilaku sesuai dengan usianya.


B. Klasifikasi dan Penyebab Ketunagrahitaan
1. Klasifikasi Ketunagrahitaan
Anak tunagrahita secara umum mempunyai tingkat kemampuan intlektual dibawah rata-rata. Dalam bahasa Indonesia, istilah yang digunakan, misalnya lemah otak, lemah pikiran, lemah ingatan dan tunagrahita.
Berikut ini merupakan klasifikasi terhadap anak Tunagrahita berdasarkan tingkatan IQ.
1) Tunagrahita Ringan (Debil)
Tunagrahita ringan adalah anak yang memiliki kisaran IQ 50-75, mereka mampu dididik dan dilatih tetapi tidak mampu mengikuti pendidikan pada program sekolah biasa. Dengan bimbingan dan pendidikan yang baik, anak Tunagrahita ringan pada saatnya akan memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri dan dapat hidup mandiri.
2) Tunagrahita Sedang (Imbisil)
Tunagrahita sedang adalah anak yang memiliki kisaran IQ 25-50, mereka hanya mampu dilatih untuk mengurus diri sendiri melalui aktivitas kehidupan sehari-hari.
3) Tunagrahita Berat (Idiot)
Tunagrahita ringan memiliki IQ 0-25, mereka tidak mampu mengurus diri sendiri atau sosialisasi. Untuk mengurus kebutuhan diri sendiri sangat membutuhkan orang lain. Dengan kata lain, anak tunagrahita berat merupakan anak yang membutuhkan perawatan sepenuhnya sepanjang hidupnya, karena ia tidak mampu terus hidup tanpa bantuan orang lain.

2. Penyebab Ketunaan
a. Prenatal (sebelum lahir)
Yaitu terjadi pada waktu bayi masih ada dalam kandungan, penyebabnya seperti : campak, diabetes, cacar, virus tokso, juga ibu hamil yang kekurangan gizi, pemakai obat-obatan (naza) dan juga perokok berat.
b. Natal (waktu lahir)
Proses melahirkan yang sudah, terlalu lama, dapat mengakibatkan kekurangan oksigen pada bayi, juga tulang panggul ibu yang terlalu kecil. Dapat menyebabkan otak terjepit dan menimbulkan pendarahan pada otak (anoxia), juga proses melahirkan yang menggunakan alat bantu (penjepit, tang).
c. Pos Natal ( Sesudah Lahir)
Pertumbuhan bayi yang kurang baik seperti gizi buruk, busung lapar, demam tinggi yang disertai kejang-kejang, kecelakaan, radang selaput otak (meningitis) dapat menyebabkan seorang anak menjadi ketunaan (tunagrahita).


C. Karakteristik/Ciri-ciri Tunagrahita
1) Ciri umum
a. Masa Bayi
Para ahli mengemukakan bahwa tunagrahita adalah tampak mengantuk saja, apatis tidak pernah sadar, jarang menangis, kalau menangis terus menerus, terlambat duduk, bicara dan berjalan.
b. Masa Kanak-kanak
Ciri ciri klinis seperti mongoloid, kepala besar, dan kepala kecil. Tetapi anak tunagrahita ringan (yang lambat) memperlihatkan ciri-ciri sukar mulai dengan sesuatu. Mengerjakan sesuatu dengan berulang-ulang tetapi tidak ada variasi, tampak penglihatannya kosong, melamun, ekspresi muka tanpa ada pengertian.
c. Masa Puber
Perubahan yang dimiliki remaja tunagrahita sama halnya dengan remaja biasa. Pertumbuhan fisik berkembang normal, tetapi perkembangan berfikir dan kepribadian berada di bawah usianya. Akibatnya ia mengalami kesulitan dalam pergaulan dan mengendalikan diri.


2) Ciri khusus
A. Tunagrahita Ringan (Debil)
a. Karakteristik Mental
Mereka dapat menunjukkan kecenderungan menjawab dengan ulang respon terhadap pertanyaan yang berbeda, tidak mampu mendeteksi kesalahan-kesalahan dalam persualisasi dan mengalami kesulitan dalam konsentrasi.
b. Karakteristik Fisik
Bagi mereka yang mengalami keterbelakangan ringan sebagian besar tidak mengalami kelainan fisik.
c. Karakteristik Sosial-Emosi
Minat permainan mereka lebih cocok dengan anak yang sama usia mentalnya dari pada usia kronologisnya. Memiliki problem sosial dan tingkah laku agak nakal dari pada anak normal intelegensinya. Anak tunagrahita cenderung menarik diri, acuh tak acuh dan mudah bingung. Tidak jarang dari mereka mudah dipengaruhi sebab mereka tidak dapat memikirkan akibat tindakannya. Kemampuan bersosialisasi ini akan lebih berkembang apabila mereka memperoleh lingkungan yang mendukung keberadaan mereka. Maksudnya mereka tidak jadi kelompok minoritas dari anggota atau dihilangkan karena mereka dianggap tidak mampu.
d. Karakteristik Belajar/Akademik
Kemampuan belajar mereka rendah dan lambat bagi mereka yang tergolong ringan, masih dapat diberikan mata pelajaran akademik ( menulis, membaca, berhitung ) dan sebagainya.
e. Karakteristik Pekerjaan
Yang dapat ditunjukan untuk dapat bekerja hanya mereka yang tergolong ringan, dan pada usia dewasa dapat belajar, pekerjaan yang sifatnya “skill dan skilled”. Anak tunagrahita ringan kurang memiliki kemampuan dalam merespon lingkungannya, sebagian besar dari mereka tidak mengalami kelainan fisik, kesulitan dalam memilah dan memilih hal yang patut dan tidak patut dicontoh, kurang mampu mengontrol emosinya, mampu diajarkan hal yang bersifat akademik meskipun dalam kurun waktu yang lama dan juga dapat diajarkan keterampilan. Oleh karena itu dalam memberikan pelayanannya, seorang guru dituntut untuk memahami karakteristik dari peserta didiknya.

B. Tunagrahita Sedang (Imbisil)
Kemampuan belajar anak tunagrahita pada taraf ini paling tinggi setaraf dengan anak normal usia 7 sampai 8 tahun, dengan IQ antara 30 – 50. Mereka mempunyai kemampuan dalam mengurus diri sendiri, pertahanan diri, dan penyesuaian sosial. Kemampuannya sangat terbatas untuk mendapat pendidikan secara akademik. Tidak jauh berbeda dengan anak tunagrahita ringan. Anak tunagrahita sedang pun mampu diajak berkomunikasi. Namun, mereka tidak begitu mahir dalam menulis, membaca, dan berhitung. Tetapi, ketika mereka ditanya tentang nama dan alamat rumahnya akan dengan jelas dijawab. Dapat bekerja di lapangan namun tetap dengan pengawasan. Begitu pula dengan perlindungan diri dari bahaya. Perhatian dan pengawasan dibutuhkan untuk perkembangan mental dan sosial anak tunagrahita sedang. Mereka hampir tidak bisa mempelajari pelajaran di Sekolah. Pada umumnya belajar secara membeo. Perkembangan bahasanya lebih terbatas daripada anak tunagrahita ringan. Mereka hampir selalu bergantung pada perlindungan orang lain, tetapi masih dapat membedakan bahaya dan yang bukan bahaya. Masih mempunyai potensi untuk belajar memelihara dan menyesuaikan diri terhadap lingkungan, dan dapat mempelajari beberapa pekerjaan yang mampu menghasilkan uang.

C. Tunagrahita Berat (Idiot)
Kemampuan belajarnya setaraf anak normal usia 3 – 4 tahun, dengan IQ 30 ke bawah. Tentu saja hal itu harus dibarengi dengan pemberian latihan yang terus menerus dan khusus. Anak dapat dilatih tentang dasar–dasar cara menolong diri sendiri dan kemampuan yang bersifat komunikatif. Anak tunagrahita berat disebut juga idiot, karena dalam kegiatan sehari-hari mereka membutuhkan pengawasan, perhatian, bahkan pelayanan yang maksimal. Mereka tidak dapat mengurus dirinya sendiri apalagi berlindung dari bahaya. Asumsi anak tunagrahita sama dengan anak Idiot tepat digunakan jika anak tunagrahita yang dimaksud tergolong dalam tungrahita berat. Anak tunagrahita berat dan sangat berat sepanjang hidupnya akan selalu tergantung pada pertolongan dan bantuan orang lain. Mereka tidak dapat memelihara diri sendiri (makan, berpakaian, ke WC dan sebagainya harus dibantu). Pada umumnya mereka tidak dapat membedakan mana yang berbahaya dan yang tidak berbahaya. Tidak mungkin berpartisipasi dengan lingkungan di sekitarnya, dan jika sedang berbicara maka kata-kata dan ucapannya sangat sederhana.
Ciri-ciri yang ketiga adalah dari segi Sosial dan Emosi. Anak tunagrahita cenderung (1) Bergaul dengan anak yang lebih muda; (2) Suka menyendiri; (3) Mudah dipengaruhi; (4) Kurang dinamis; (5) Kurang pertimbangan/kontrol diri; (6) Kurang konsentrasi; (7) Mudah dipengaruhi; (8) Tidak dapat memimpin dirinya maupun orang lain.

Rabu, 12 Oktober 2016

“Bambang Pamungkas Autobiography”

Bambang Pamungkas20
Bambang Pamungkas was born in Getas, Center Java on June 10th 1980, also known as Bepe. He is a son of Mr. H. Misranto and Mrs.Hj. Suriptinah. He had married with Tribuana Tungga Dewi and has 3 daughter. They are Salsa Alicia, Jane Abel, and Syaura Abana.

He is an Indonesian professional footballer who plays for Persija Jakarta in the Indonesia Super League and previously the Indonesia National Football team. His natural position is striker. Bambang Pamungkas known as a striker with a header and accurate kicks away. 
In the beginning, Bambang never thought to be a footballer. He likes reading and cooking, and dreams of becoming a teacher or a chef. He has ambitions to become a teacher or a chef once his footballing career is over. However, Bambang talent honed since he followed the SSB (Soccer School) Ungaran Match in 1988. His natural talent to make clubs interested to sign him Persikas Semarang in 1992. While still a youth team playing in Central Java, he had been named as the best player Haornas Cup, a championship youth level.
Since then, interest in football Bambang increasing rapidly. He was even willing to quit his studies in the second half for a serious career in football.
Bambang played for several clubs around his hometown as a youth, before beginning his senior career with Persija Jakarta. He was the club's top goalscorer in 1999–2000 Liga Indonesia with 24 goals. In 2000, he joined EHC Norad in the Dutch Third Division. But after only 4 months he returned to Persija. Bambang didn’t really lift when defending Persija on 1999. Although in his first season Persija defense, a player who is familiarly called Bepe only netted two goals.
His ability smell by a talent scout from the Dutch football club, EHC Norad. Bambang was loaned by Persija to the club who play in division 3 of this Dutch league. However Bepe only lasted a few months there, because of family problems and his failure to adjust to the cold European climate.
At the beginning of the 2001 season, he returned to Persija. Bambang helped his club to win the Liga Indonesia in 2001, and he was awarded the accolade of that season's best player. Persija Jakarta narrowly missed out on winning the championship again in 2004 by one point. The following season Persija reached the 2005 final, but lost 2–3 to Persipura Jayapura.
The triumphant appearance with Persija make Bepe called upon to defend Indonesia's senior national team. Bambang made his name in South East Asian football when he scored the only goal for Indonesia at the 2002 Tiger Cup semifinal against Malaysia, and was the tournament's top scorer with eight goals. Bambang was also the top scorer for the squad Indonesia in Asia Cup U-19 Group V, with 7 goals.
Bambang is considered to be an outstanding header of the ball, and has a reputation for sharpness in the penalty box. He earned 85 caps and 37 goals with the Indonesia National team, and is perhaps the team's most popular player among its supporters. He is considered as one of top ten Asian players of 2012 by ESPN Soccernet. He was staying as a striker at the time the future of Indonesia, replacing his idol, Kurniawan Dwi Yulianto. 3 years Bambang Pamungkas become an irreplaceable figure in the front line team of Red and White.
But in 2004, some of injuries couldn’t make Bambang’s perform excellent in the core national team squad. Finally his name was excluded from the core of the 2004 Tiger Cup squad.
Bambang was 'moved' to Malaysia to play one of the elite club circuitry neighbor country, Selangor FC. Bambang shining brightly in the land of Malaysia. In his first season in Selangor FC, he became the club's top scorer with a notch 22 goals in all competitions.
In his first season in Malaysia he won the Premier League Malaysia, FA Cup Malaysia, and Malaysia Cup, and became the league's top-scorer with 23 goals in 24 matches. During two seasons in Malaysia he scrored 63 goals in four competitions: Malaysia Premier League, Malaysia Super League, FA Cup Malaysia, Malaysia Cup, AFC Cup. Despite having scored a total of 158 goals in Liga Indonesia, like Singaporean forward Indra Sahdan Daud, Bambang lost his place in the nation team to foreign-born talent.
At the beginning of the 2007 season, Bepe returned to Indonesia and played in the club where he made his name, Persija. Bepe went back to fill the front lines of Indonesia's National team.
On 2008, English club Derby County was interested him. On 2010 he had a trial at New Zealand club Wellington Phoenix FC, but failed to secure a contract. On 9 December 2013, he signed a one-year contract with Pelita Bandung Raya. On 3 December 2014, he moved back to Persija Jakarta.
Bambang devotes some of his free time to charity work, promoting the Bambang Pamungkas Foundation that he set up to provide financial assistance and resources to schools in Indonesia. He is also involved in raising funds for children's cancer charities.
As a well-known public figure, Bambang has appeared in many product endorsements, including for Biskuat, Ti Phone, Nike, Bodrex, Nivea men, etc.
Bambang has written some books in Bahasa Indonesia, Ketika Jemariku Menari, Bepe Pride, Trilogi cerpen in his site, and become a sport motivator, relating his life, his career, and his teammates at club and national level, especially during the AFF 2010 campaign. Former Indonesia national team manager Ivan Venkov Kolev comments in the book that Bambang is "One striker rare in Indonesia. Commitment and professionalism are hallmarks of rare skill players in Indonesia".

Senin, 10 Oktober 2016

Sejarah Perkembangan Bilangan

Awal kebangkitan teori bilangan modern dipelopori oleh Pierre de Fermat (1601-1665), Leonhard Euler (1707-1783), J.L Lagrange (1736-1813), A.M. Legendre (1752-1833), Dirichlet (1805-1859), Dedekind (1831-1916), Riemann (1826-1866), Giussepe Peano (1858-1932), Poisson (1866-1962), dan Hadamard (1865-1963). Sebagai seorang pangeran matematika, Gauss begitu terpesona terhadap keindahan dan kecantikan teori bilangan, dan untuk melukiskannya, ia menyebut teori bilangan sebagai the queen of mathematics.
Pada masa ini, teori bilangan tidak hanya berkembang sebatas konsep, tapi juga banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dapat dilihat pada pemanfaatan konsep bilangan dalam metode kode baris, kriptografi, komputer, dan lain sebagainya.
Bilangan pada awalnya hanya dipergunakan untuk mengingat jumlah, namun dalam perkembangannya setelah para pakar matematika menambahkan perbendaharaan simbol dan kata-kata yang tepat untuk mendefenisikan bilangan maka matematika menjadi hal yang sangat penting bagi kehidupan dan tak bisa kita pungkiri bahwa dalam kehidupan keseharian kita akan selalu bertemu dengan yang namanya bilangan, karena bilangan selalu dibutuhkan baik dalam teknologi, sains, ekonomi ataupun dalam dunia musik, filosofi dan hiburan.
1. Gambaran Sejarah Purbakala dari Matematika
Pada mulanya di zaman purbakala banyak bangsa-bangsa yang bermukim sepanjang sungai-sungai besar. Bangsa Mesir sepanjang sungai Nil di Afrika, bangsa Babilonia sepanjang sungai Tigris dan Eulfrat, bangsa Hindu sepanjang sungai Indus dan Gangga, bangsa Cina sepanjang sungai sepanjang sungai Huang Ho dan Yang Tze. Bangsa-bangsa itu memerlukan keterampilan untuk mengendalikan banjir, mengeringkan rawa-rawa, membuat irigasi untuk mengolah tanah sepanjang sungai menjadi daerah pertanian untuk itu diperlukan pengetahuan praktis, yaitu pengetahuan teknik dan matematika bersama-sama.
Sejarah menunjukkan bahwa permulaan Matematika berasal dari bangsa yang bermukim sepanjang aliran sungai tersebut. Mereka memerlukan perhitungan, penanggalan yang bisa dipakai sesuai dengan perubahan musim. Diperlukan alat-alat pengukur untuk mengukur persil-persil tanah yang dimiliki. Peningkatan peradaban memerlukan cara menilai kegiatan perdagangan, keuangan dan pemungutan pajak. Untuk keperluan praktis itu diperlukan bilangan-bilangan.

2. Awal Bilangan
Bilangan pada awalnya hanya dipergunakan untuk mengingat jumlah, namun dalam perkembangannya setelah para pakar matematika menambahkan perbendaharaan simbol dan kata-kata yang tepat untuk mendefenisikan bilangan maka matematika menjadi hal yang sangat penting bagi kehidupan dan tak bisa kita pungkiri bahwa dalam kehidupan keseharian kita akan selalu bertemu dengan yang namanya bilangan, karena bilangan selalu dibutuhkan baik dalam teknologi, sains, ekonomi ataupun dalam dunia musik, filosofi dan hiburan serta banyak aspek kehidupan lainnya. Bilangan dahulunya digunakan sebagai simbol untuk menggantikan suatu benda misalnya kerikil, ranting yang masing-masing suku atau bangsa memiliki cara tersendiri untuk menggunakannya.

3. Perkembangan Teori Bilangan
Perkembangan teori bilangan telah menyebar ke berbagai negara, di bawah ini akan di jelaskan beberapa perkembangan yang ada pada negara-negara tersebut :
a. Teori Bilangan Pada suku Babylonia
Matematika Babylonia merujuk pada seluruh matematika yang dikembangkan oleh bangsa Mesopotamia (kini Iraq) sejak permulaan Sumeria hingga permulaan peradaban helenistik. Dinamai “Matematika Babylonia”karena peran utama kawasan Babylonia sebagai tempat untuk belajar. Pada zaman peradaban helenistik, Matematika Babilonia berpadu dengan Matematika Yunani dan Mesir untuk membangkitkan Matematik Yunani. Kemudian di bawah Kekhalifahan Islam, Mesopotamia, terkhusus Baghdad, sekali lagi menjadi pusat penting pengkajian Matematika Islam.
Bertentangan dengan langkanya sumber pada Matematika Mesir, pengetahuan Matematika Babylonia diturunkan dari lebih daripada 400 lempengan tanah liat yang digali sejak 1850-an. Lempengan ditulis dalam tulisan paku ketika tanah liat masih basah, dan dibakar di dalam tungku atau dijemur di bawah terik matahari.
Beberapa di antaranya adalah karya rumahan. Bukti terdini matematika tertulis adalah karya bangsa Sumeria, yang membangun peradaban kuno di Mesopotamia. Mereka mengembangkan sistem rumit metrologi sejak tahun 3000 SM. Dari kira-kira 2500 SM ke muka, bangsa Sumeria menuliskan tabel perkalian pada lempengan tanah liat dan berurusan dengan latihan-latihan geometri dan soal-soal pembagian. Jejak terdini sistem bilangan Babilonia juga merujuk pada periode ini.
Sebagian besar lempengan tanah liat yang sudah diketahui berasal dari tahun 1800 sampai 1600 SM, dan meliputi topik-topik pecahan, aljabar, persamaan kuadrat dan kubik, dan perhitungan bilangan regular, invers perkalian, dan bilangan prima kembar. Lempengan itu juga meliputi tabel perkalian dan metode penyelesaian persamaan linear dan persamaan kuadrat. Lempengan Babilonia 7289 SM memberikan hampiran bagi √2 yang akurat sampai lima tempat desimal.
Matematika Babylonia ditulis menggunakan sistem bilangan seksagesimal (basis-60). Dari sinilah diturunkannya penggunaan bilangan 60 detik untuk semenit, 60 menit untuk satu jam, dan 360 (60 x 6) derajat untuk satu putaran lingkaran, juga penggunaan detik dan menit pada busur lingkaran yang melambangkan pecahan derajat. Juga, tidak seperti orang Mesir, Yunani, dan Romawi, orang Babilonia memiliki sistem nilai-tempat yang sejati, di mana angka-angka yang dituliskan di lajur lebih kiri menyatakan nilai yang lebih besar, seperti di dalam sistem decimal

b. Teori Bilangan Pada Suku Bangsa Mesir Kuno
Matematika Mesir merujuk pada matematika yang ditulis di dalam bahasa Mesir. Sejak peradaban helenistik matematika Mesir melebur dengan matematika Yunani dan Babilonia yang membangkitkan Matematika helenistik. Pengkajian matematika di Mesir berlanjut di bawah Khilafah Islam sebagai bagian dari matematika Islam, ketika bahasa Arab menjadi bahasa tertulis bagi kaum terpelajar Mesir. Tulisan matematika Mesir yang paling panjang adalah Lembaran Rhind (kadang-kadang disebut juga “Lembaran Ahmes” berdasarkan penulisnya), diperkirakan berasal dari tahun 1650 SM tetapi mungkin lembaran itu adalah salinan dari dokumen yang lebih tua dari Kerajaan Tengah yaitu dari tahun 2000-1800 SM. Lembaran itu adalah manual instruksi bagi pelajar aritmetika dan geometri.
Selain memberikan rumus-rumus luas dan cara-cara perkalian, pembagian, dan pengerjaan pecahan, lembaran itu juga menjadi bukti bagi pengetahuan matematika lainnya, termasuk bilangan komposit dan prima; rata-rata aritmetika, geometri, dan harmonik; dan pemahaman sederhana Saringan Eratosthenes dan teori bilangan sempurna (yaitu, bilangan 6). Lembaran itu juga berisi cara menyelesaikan persamaan linear orde satu juga barisan aritmetika dan geometri.
Naskah matematika Mesir penting lainnya adalah lembaran Moskwa, juga dari zaman Kerajaan Pertengahan, bertarikh kira-kira 1890 SM. Naskah ini berisikan soal kata atau soal cerita, yang barangkali ditujukan sebagai hiburan.

c. Teori Bilangan Pada Suku Bangsa India
Sulba Sutras (kira-kira 800–500 SM) merupakan tulisan-tulisan geometri yang menggunakan bilangan irasional, bilangan prima, aturan tiga dan akar kubik; menghitung akar kuadrat dari 2 sampai sebagian dari seratus ribuan; memberikan metode konstruksi lingkaran yang luasnya menghampiri persegi yang diberikan, menyelesaikan persamaan linear dan kuadrat; mengembangkan tripel Pythagoras secara aljabar, dan memberikan pernyataan dan bukti numerik untuk teorema Pythagoras.
Kira-kira abad ke-5 SM merumuskan aturan-aturan tata bahasa Sanskerta menggunakan notasi yang sama dengan notasi matematika modern, dan menggunakan aturan-aturan meta, transformasi, dan rekursi. Pingala (kira-kira abad ke-3 sampai abad pertama SM) di dalam risalah prosodynya menggunakan alat yang bersesuaian dengan sistem bilangan biner. Pembahasannya tentang kombinatorika bersesuaian dengan versi dasar dari teorema binomial. Karya Pingala juga berisi gagasan dasar tentang bilangan Fibonacci.
Pada sekitar abad ke 6 SM, kelompok Pythagoras mengembangkan sifat-sifat bilangan lengkap (perfect number), bilangan bersekawan (amicable number), bilangan prima (prime number), bilangan segitiga (triangular number), bilangan bujur sangkar (square number), bilangan segilima (pentagonal number) serta bilangan-bilangan segibanyak (figurate numbers) yang lain. Salah satu sifat bilangan segitiga yang terkenal sampai sekarang disebut triple Pythagoras, yaitu : a.a + b.b = c.c yang ditemukannya melalui perhitungan luas daerah bujur sangkar yang sisi-sisinya merupakan sisi-sisi dari segitiga siku-siku dengan sisi miring (hypotenosa) adalah c, dan sisi yang lain adalah a dan b.

Hasil kajian yang lain yang sangat popular sampai sekarang adalah pembedaan bilangan prima dan bilangan komposit. Bilangan prima adalah bilangan bulat positif lebih dari satu yang tidak memiliki Faktor positif kecuali 1 dan bilangan itu sendiri. Bilangan positif selain satu dan selain bilangan prima disebut bilangan komposit. Catatan sejarah menunjukkan bahwa masalah tentang bilangan prima telah menarik perhatian matematikawan selama ribuan tahun, terutama yang berkaitan dengan berapa banyaknya bilangan prima dan bagaimana rumus yang dapat digunakan untuk mencari dan membuat daftar bilangan prima.
Dengan berkembangnya sistem numerasi, berkembang pula cara atau prosedur aritmetis untuk landasan kerja, terutama untuk menjawab permasalahan umum, melalui langkah-langkah tertentu, yang jelas yang disebut dengan algoritma. Awal dari algoritma dikerjakan oleh Euclid. Pada sekitar abad 4 S.M, Euclid mengembangkan konsep-konsep dasar geometri dan teori bilangan. Buku Euclid yang ke VII memuat suatu algoritma untuk mencari Faktor Persekutuan Terbesar dari dua bilangan bulat positif dengan menggunakan suatu teknik atau prosedur yang efisien, melalui sejumlah langkah yang terhingga. Kata algoritma berasal dari algorism. Pada zaman Euclid, istilah ini belum dikenal. Kata Algorism bersumber dari nama seorang muslim dan penulis buku terkenal pada tahun 825 M., yaitu Abu Ja’far Muhammed ibn Musa Al-Khowarizmi. Bagian akhir dari namanya (Al-Khowarizmi), mengilhami lahirnya istilah Algorism. Istilah algoritma masuk kosakata kebanyakan orang pada saat awal revolusi komputer, yaitu akhir tahun 1950.
Pada abad ke 3 S.M., perkembangan teori bilangan ditandai oleh hasil kerja Erathosthenes, yang sekarang terkenal dengan nama Saringan Erastosthenes (The Sieve of Erastosthenes). Dalam enam abad berikutnya, Diopanthus menerbitkan buku yang bernama Arithmetika, yang membahas penyelesaian persamaan didalam bilangan bulat dan bilangan rasional, dalam bentuk lambang (bukan bentuk/bangun geometris seperti yang dikembangkan oleh Euclid). Dengan kerja bentuk lambang ini, Diopanthus disebut sebagai salah satu pendiri aljabar.

d. Teori Bilangan Pada Masa Sejarah (Masehi)
Awal kebangkitan teori bilangan modern dipelopori oleh Pierre de Fermat (1601-1665), Leonhard Euler (1707-1783), J.L Lagrange (1736-1813), A.M. Legendre (1752-1833), Dirichlet (1805-1859), Dedekind (1831-1916), Riemann (1826-1866), Giussepe Peano (1858-1932), Poisson (1866-1962), dan Hadamard (1865-1963). Sebagai seorang pangeran matematika, Gauss begitu terpesona terhadap keindahan dan kecantikan teori bilangan, dan untuk melukiskannya, ia menyebut teori bilangan sebagai the queen of mathematics.
Pada masa ini, teori bilangan tidak hanya berkembang sebatas konsep, tapi juga banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dapat dilihat pada pemanfaatan konsep bilangan dalam metode kode baris, kriptografi, komputer, dan lain sebagainya.

4. Macam-Macam Bilangan
Sebelum kita mengenal macam-macam bilangan, kita mengenal terlebih dahulu pengertian dari bilangan tersebut. Bilangan adalah suatu ide yang bersifat abstrak yang akan memberikan keterangan mengenai banyaknya suatu kumpulan suatu kumpulan benda. Biasanya lambang bilangan sering dinotasikan dalam bentuk tulisan sebagai angka.
Adapun macam-macam bilangan, yaitu ada bilangan bulat, bilangan asli, bilangan cacah, bilangan prima, bilangan genap, bilangan ganjil, bilangan pecahan, bilangan rasional, bilangan irrasional, bilangan riil, bilangan imajiner dan bilangan kompleks. Dan dapat diuraikan penjelasannya sebagai beikut :
1. Bilangan Bulat
2. Bilangan bulat merupakan bilangan yang terdiri dari bilangan positif, bilangan negatif dan bilangan bulat. Contoh bilangan bulat : -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3……
3. Bilangan Asli
Bilangan asli merupakan bilangan bulat positif yang diawali angka 1 sampai tak terhingga. Contoh bilangan asli : 1, 2, 3, 4, 5, 6, …..
4. Bilangan Cacah
Bilangan cacah merupakan bilangan yang diawali dengan angka nol (0) sampai tak terhingga. Contoh bilangan cacah : 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6 …..
5. Bilangan Prima
Bilangan prima yaitu bilangan yang tepat mempunyai 2 faktor yaitu dapat di bagi oleh angka 1 dan dengan bilangan itu sendiri, atau bilangan asli bukan 1 yang dapat di bagi dengan bilangan itu sendiri. Contohnya : 2, 3, 5, 7, 11, ….
6. Bilangan Genap
Bilangan genap adalah bilangan cacah yang dapat di bagi dua. Contohnya : 2, 4, 6, 8, 10 , …..
7. Bilangan Ganjil
Bilangan ganjil merupakan bilangan asli yang jika di bagi 2 selalu bersisa satu (1). Contohnya : 1, 3, 5, 7,…..
8. Bilangan Pecahan
Bilangan pecahan merupakan bilangan yang terdiri dari pembilang dan penyebut, dimana pembilang sebagai bilangan yang terbagi dan penyebut sebagai bilangan pembagi. Bilangan pecahan terdiri dari pecahan biasa, pecahan campuran, pecahan decimal, pesacah persen dan pecahan pemil.
Contohnya :
Pecahan Biasa : ⅔ ⅖ ⅘
Pecahan Cmpuran : 5 ⅘ ,7⅖
Pecahan Desimal : 0,3/0,2
Pecahan Persen : 30% = 30/ 100
Pecahan permil : 30‰ = 30/1000
9. Bilangan Rasional
Bilangan rasional adalah suatu bilangan yang dapat dinyatakan sebagai suatu pembagian antara 2 bilangan bulat.
10. Bilangan Irrasional
Bilangan irrasional yaitu suatu bilangan yang tidak dapat dinyatakan sebagai pembagi antara dua bilangan.
11. Bilangan Riil (nyata)
Bilangan riil yaitu suatu bilangan yang merupakan penggabungan dari bilangan rasional dan bilangan irrasional.
12. Bilangan Immajiner
Bilangan immajiner yaitu suatu bilangan yang dilambangkan dengan huruf (i) dimana i2 bernilai -1 atau i = ...
Contohnya : i, 2i, 4i, ,,,,,,,,
x -1 = 4 x i = 4i
13. Bilangan Kompleks
Bilangan kompleks yaitu suatu bilangan penjumlahan antara bilangan real dan bilangan immajiner atu yang terdiri atas a+bi.
Contohnya : 3+4i …..

Sejarah Perkembangan Angka

Kemungkinan terbesar manusia mulai menghitung adalah setelah bahasa berkembang. Saat itu jari-jari tangan merupakan alat hitung yang paling alami. Itulah sebabnya mengapa sistem perhitungan yang kita gunakan saat ini menggunakan bilangan berbasis 10. Untuk mencari bukti sejarah, ukiran pada batu atau kayu adalah solusi yang paling alami. Dari bukti sejarah, sistem hitung yang paling awal terdiri dari simbol berulang yang masing-masing terdiri dari sepuluh, yang diikuti oleh pengulangan simbol untuk satu. Untuk contoh pada angka-angka yang digunakan saat ini seperti 1 sampai 10, kemudian 11 (simbol bilangan satu diulang pada simbol bilangan sebelas sebagai penanda 11 adalah 10 + 1). Atau pada bilangan romawi, bilangan dua puluh satu dilambangkan menjadi XXI (simbol angka sepuluh diulang kemudian dimulai lagi dari satu sebagai penanda 20 adalah 10 + 10 +1). Di bawah ini akan di uraikan sedikit sejarah timbulnya angka sebagai sistem dalam berhitung.
1. Angka Mesir (3000-1600 SM)
Di Mesir, sejak sekitar 3000 tahun sebelum masehi, bukti sejarah yang ditemukan menyebutkan bahwa satu disimbolkan sebagai garis vertikal, sedangkan 10 diwakilkan oleh lambang ^. Orang mesir menulis dari kanan ke kiri, jadi bilangan dua puluh tiga disimbolkan menjadi |||^^. Bila anda sulit mengartikannya menjadi 23, bandingkanlah dengan angka romawi XXIII. Angka romawi tersebut pada dasarnya adalah sistem Mesir, diadaptasi oleh Roma dan sampai sekarang masih kita gunakan setelah kemunculan pertamanya yaitu lebih dari 5000 tahun yang lalu.
Para juru tulis Fir'aun (yang hartanya sangat sulit untuk dihitung) menggunakan suatu sistem untuk menghitung angka-angka besar. Memang sulit digunakan, tapi tidak diragukan lagi itu yang mereka pakai. Membaca versi tertulis dari angka-angka besar mesir sama seperti menghitung total nilai dari koin-koin judi di Las Vegas. Orang-orang mesir kuno meletakan angka yang besar dikanan dan yang paling kecil dikiri. Jadi, untuk keperluan demonstrasi, bayangkanlah koin A bernilai 100.000 koin B bernilai 10.000 koin C bernilai 1.000, koin D bernilai 100, koin E bernilai 10, dan koin F bernilai 1 dengan nilai-nilai itu, angka Mesir FEEEDDDDDDCCCCBBBAA bisa mewakilkan angka 234.641. Dan angka-angka besar seperti ini berperan dalam dokumen yang mendeskripsikan harta-harta milik firaun. Simbol Mesir untuk angka besar seperti 100.000, adalah suatu simbol yang seperti burung, tetapi angka-angka yang lebih kecil dilambangkan dengan garis lurus dan melengkung.

2. Angka Babylonia (1750 SM)
Orang-orang Babylonia, menggunakan sistem bilangan berbasis 60. Sistem ini benar-benar sulit digunakan karena secara logika seharusnya membutuhkan 59 simbol yang berbeda(sama seperti sistem desimal berbasis 10 saat ini mempunyai simbol yang berbeda sampai 9).Sebaliknya,angka dibawah 60 dilambangkan dengan kelompok-kelompok sepuluh.
Angka Babylonia yang menyebabkan bentuk tertulisnya sangat aneh jika dibandingkan dengan komposisi aritmatika manapun. Melalui keunggulan orang babylonia pada bidang astronomi, sistem perhitungan berbasis 60 mereka masih ada sampai sekarang pada 60 detik dalam satu menit, dan pada pengukuran sudut, 180 derajat pada jumlah sudut segitiga dan 360 derajat pada sudut satu lingkaran. Dan jauh setelah itu, saat waktu bisa diukur dengan akurat, sistem yang sama juga digunakan dalam 60 menit dalam 1 jam. Orang Babylonia mengambil langkah krusial menuju suatu sistem perhitungan yang lebih efektif. Mereka memperkenalkan konsep nilai tempat, yaitu angka yang sama bisa mempunyai nilai yang berbeda tergantung letak angka pada urutan. Untuk lebih jelas, kita ambil contoh angka 222. Pada angka tersebut terdapat tiga angka 2 yang mempunyai nilai yang berbeda-beda, yaitu 200, 20, dan 2. Tapi konsep ini baru dan merupakan langkah yang sangat berani bagi orang Babylonia. Untuk mereka, dengan sistem perhitungan berbasis 60, sistem nilai tempat lebih sulit untuk digunakan. Untuk mereka angka simpel seperti 222 mempunyai nilai 7322 bila menggunakan sistem hitung berbasis 10 yang kita gunakan (2 x60 kuadrat + 2 x 60 + 2).
Sistem nilai tempat membutuhkan suatu tanda yang bermakna ”kosong”, untuk saat-saat dimana jumlah nilai pada satu kolom sama dengan kelipatan 60. Dari sinilah awal mula angka 0. Meskipun bilangan nol itu sendiri belum ada, dan angka 0 tidak mempunyai nilai numerik tersendiri.

3. Angka Suku Maya
Suku maya, sama seperti suku Aztec, menggunakan sistem bilangan berbasis 20.Seperti orang Babylonia, suku Maya menggunakan sistem nilai tempat, dan tentu saja, angka nol. Mereka menggunakan 3 set grafik notasi yang berbeda untuk mewakili angka:
a) Dengan titik dan garis,
b) Dengan figur antropomorfik, dan
c) Dengan simbol.

4. Angka Romawi 300 SM
Angka romawi menggunakan sistem bilangan berbasis 5. Angka I dan V dalam angka romawi terinspirasi dari bentuk tangan, yang merupakan alat hitung alami. Sedangkan angka X lambang dari 10, adalah gabungan dua garis miring yang melambangkan 5. Dan L, C, D,dan M, yang secara urut mewakili 50, 100, 500, dan 1.000, merupakan modifikasi dari simbol V dan X. Garis yang miring mewakili jempol, yang kemudian menjadi simbol lima X (10) adalah gabungan dua garis miring.
Simbol L, C, D, & M merupakan modifikasi dari simbol V & X untuk menulis angka, orang romawi menggunakan sistem penjumlahan : V + I = VI (6) atau C + X + X + I = CXXI (121), dan sistem pengurangan : IX (I sebelum X =9) atau XCIV (Xsebelum C = 90, I sebelum V = 4) Nol, Sistem Desimal , dan Angka Hindu-Arab (300 SM – sekarang)
Pada sistem perhitungan Babylonia dan Maya, bentuk angka tertulisnya masih sangan rumit untuk perhitungan aritmatika yang efisien. Selain itu, angka nol belum berfungsi penuh. Agar angka nol bisa memenuhi potensinya dalam matematika, setiap bilangan harus mempunyai simbol sendiri atau paling tidak angka-angka dasar dalam basis hitungan mempunyai simbol sendiri. Sistem ini kemungkinan muncul pertama kali di India. Angka-angka yang dipakai saat ini mengalami perubahan-perubahan bertahap sejak 3 abad sebelum masehi.
Orang-orang India menggunakan lingkaran kecil saat tempat pada angka tidak mempunyai nilai, mereka menamai lingkaran kecil tersebut dengan nama sunya, diambil dari bahasa sansekerta yang berarti ”kosong”.Sistem ini telah berkembang penuh sekitar tahun 800 Masehi,saat sistem ini juga diadaptasi di Baghdad. Orang arab menggunakan titik sebagai simbol ”kosong”, dan memberi nama dengan arti yang sama dalam bahasa arab, sifr.
Sekitar dua abad kemudian angka India masuk ke Eropa dalam manuskrip Arab, dan dikenal dengan nama angka Hindu-Arab. Dan angka Arab sifr berubah menjadi ”zero” dalam bahasa Eropa modern, atau dalam bahasa Indonesia, ”nol”. Tetapi masih perlu berabad-abad lagi sebelum ke-sepuluh angka Hindu-Arab secara bertahap menggantikan angka romawi di Eropa, yang diwarisi dari masa kekaisaran Roma.

HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN PENDIDIKAN

Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu sedangkan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Filsafat merupakan ilmu yang menyelami dengan sungguh-sungguh akan hakikat kebenaran sesuatu. Dalam berfilsafat kita cenderung didorong untuk mengetahui apa yang telah tahu dan apa yang belum tahu. Pada prinsipnya berfilsafat bukan hanya ditujukan untuk memahami hal-hal yang belum diketahui saja, tetapi berfilsafat pun dapat dilakukan pada hal-hal yang sebelumnya memang sudah diketahui. Dengan berfilsafat maka akan didapatkan kebenaran yang mendalam dengan tanpa mengingkari aspek keilmuan. Berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah dijangkau.
Filsafat membahas sesuatu dari segala aspeknya yang mendalam, maka dikatakan kebenaran filsafat adalah kebenaran menyeluruh. Maksudnya dalam membahas sesuatu, dengan berfilsafat kebenaran ilmu tidak hanya ditinjau dari segi yang bisa terlihat oleh manusia saja, akan tetapi mencakup segala aspek hidup manusia. Jika diibaratkan seperti mengamati gunung es, kita hanya mampu melihat bongkahan es yang berada di permukaannya saja. Dengan filsafat kita diajak untuk mencoba menyelami sampai ke bagian dalam (dasar) dari gunung es tersebut untuk meraba segala sesuatu yang ada melalui pikiran dan renungan yang kritis.

Sedangkan pendidikan merupakan salah satu dari bidang ilmu yang memiliki arti memanusiakan manusia. Pendidikan pun dapat diartikan sebagai suatu cara atau proses yang dilakukan sebagai upaya untuk pengembangan kompetensi dan pengetahuan seseorang dengan berbagai metode dan sistematika tertentu. Pendidikan dapat diberikan pada seluruh kalangan usia, tidak memandang gender maupun suku ras, semua manusia berhak bahkan wajib untuk mengenyam pendidikan.
Pendidikan lahir dari induknya yaitu filsafat. Filsafat merupakan ilmu yang tertua dan menjadi induk ilmu pengetahuan yang lain. Sebagaimana diungkapkan oleh John S. Brubacher sebagai berikut:

“Philosophy was, as its eymologv from the Greek words Pilos and Sopia, suggest love of wisdom or learning. More over, it was lo’e of learning in general, it subsumed under one, heading what to day we call scince ‘as well as what we now call philospohy It is for the reason that philosophy is often referred to us the mother as well as. the qreen of the, scince”.

Artinya:
”Filsafat berasal dan perkataan Yunani yaitu ‘Philos dari Sopia yang berarti rinto kebijaksanaan atau belajar. Lebih dan itu dapat diartikan cinta belajar pada umumnnya termasuk dalam suatu ilmu yang kita sebut sekarang dengan. filsafat. Untuk alasan inilah maka sering dikatakan bahwa filsafat adalah induk atau ratu ilmu pengetahuan”.

Hubungan antara filsafat dengan pendidikan terkait dengan persoalan logika, yaitu logika formal yang dibangun atas prinsip koherensi dan juga logika dialektis yang dibangun atas prinsip menerima dan memperbolehkan kontradiksi. Hubungan interaktif antara filsafat dengan pendidikan berlangsung dalam lingkaran kultural dan pada akhirnya menghasilkan apa yang disebut dengan filsafat pendidikan. Filsafat pendidikan merupakan hasil pemikiran serta perenungan secara mendalam hingga akar-akarnya mengenai pendidikan.
Filsafat pendidikan Esesialis bertitik tolak dari kebenaran yang telah terbukti berabad-abad lamanya. Kebenaran seperti itulah yang esensial, maksudnya kebenaran ini merupakan kebudayaan klasik yang muncul pada zaman Romawi yang menggunakan buku-buku klasik ditulis dengan bahasa latin dikenal dengan nama Great Book. pelajaran dibuat sangat berstruktur, dengan materi pelajaran berupa warisan kebudayaan, yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga mempercepat kebiasaan berpikir efektif, pengajaran terpusat pada guru.
Filsafat pendidikan Perenialis bahwa kebenaran pada wahyu Tuhan. Tentang bagaimana cara menumbuhkan kebenaran itu pada diri peserta didik dalam proses belajar mengajar tidaklah jauh berbeda antara esensialis dengan peenialis. Proses pendidikan meraka sama-sama tradisional.
Filsafat pendidikan Progresivis mempunyai jiwa perubahan, relativitas, kebebasan, dinamika, ilmiah, dan perbuatan nyata. Menurut filsafat ini tidak ada tujuan serta kebenaran yang pasti. Tujuan dan kebenaran itu bersifat relatif, apa yang sekarang dipandang benar karena dituju dalam kehidupan, tahun depan belum tentu masih tetap benar. Ukuran kebenaan adalah yang berguna bagi kehidupan manusia hari ini. yang dipentingkan dalam pendidikan adalah mengembangan peserta didik untuk bisa berpikir, yaitu bagaimana berpikir yang baik.
Filsafat pendidikan Rekonstruksionis merupakan variasi dari Progresivisme, yang menginginkan kondisi manusia pada umumnya harus diperbaiki. Meraka bercita-cita mengkonstuksi kembali kehidupan manusia secara total. Ini berupaya merombak tata susunan kehidupan masyarakat lama dan membangun tata susunan hidup yang baru sekali, melalui lembaga dan proses pendidikan.
Filsafat pendidikan Eksistensialis berpendapat bahwa kenyataan atau kebenaran adalah eksistensi atau adanya individu manusia itu sendiri. Manusia adalah bebas, akan menjadi apa orang itu ditentukan oleh keputusan komitmennya sendiri.

Minggu, 09 Oktober 2016

STOICISM (Alih Bahasa: Indonesia)

Pemahaman mengenai sikap tabah (tawakal), seperti filsafat Yunani lain yang dibahas dalam bab 1, dapat dilihat sebagai kelanjutan dari gerakan Socrates. . Tidak lain, cabang yang berbeda dari teori sikap tabah (tawakal) bahwa kita dapat mengidentifikasinya sebagai "filsafat pendidikan" mereka. Orang-orang yang menganut sikap tabah menghasilkan rangkaian pemikiran yang asli dan kuat dalam pengembangan manusia, akuisisi (proses dalam mendapatkan atau mempelajari sesuatu) pengetahuan (terlebih pada pengetahuan yang baik), dan jenis-jenis nilai, dan ide-ide ini merupakan kelanjutan makna untuk para pelajar modern dari filsafat pendidikan. Juga penting dalam hubungan ini adalah pandangan mereka tentang perlunya kurikulum filsafat terpadu, pengajaran etika praktis, dan hubungan antara teori filosofis dan kepercayaan konvensional dan praktik.

Konteks dan Sejarah
Pemahaman sikap tabah, seperti musuh terbesarnya, Epicureanism, muncul di Athena pada awal abad ketiga SM. Pada masa ini Athena menjadi pusat filsafat di Yunani, terlebih di dunia Mediterania kuno. Dua sekolah filsafat pertama telah didirikan, dalam Academy (oleh Plato dan penerusnya) dan di Lyceum (oleh Aristoteles dan penerusnya). Dua sekolah lainnya muncul, yang Epicurus (berbasis di rumahnya dan taman di luar kota) dan bahwa dari Zeno, yang berbasis di Stoa Painted di Athena. Meskipun secara intelektual canggih dan menutupi bidang kompleks pengetahuan, sekolah-sekolah ini merupakan lembaga informal yang besar. Mereka berfungsi sebagai kelompok penelitian untuk para pemikir dan memberikan kuliah umum dan program yang lebih berkelanjutan dengan mengajar anak-anak dan orang dewasa. Sekolah-sekolah filsafat, di samping sekolah retoris (mereka lebih sukses dan musuh "mainstream" lainnya) menawarkan siswa yang didominasi (tidak sepenuhnya) laki-laki; siswa yang sebagian besar (meskipun tidak selalu) dari kelas atas di dunia yang berbahasa Yunani.toicisme dan Epicureanism, bersama-sama dengan lainnya, masih lebih informal, kelompok-kelompok seperti Sinis, juga mewakili satu set yang berbeda dari sikap etis, cara hidup dan pandangan dunia.
Zeno (c.334-262 SM), pendiri sekolah Stoic, sangat dipengaruhi, dalam ide-ide dan pendekatan, oleh Socrates; keputusannya untuk mengajar di sebuah tiang publik dekat pusat kota mewakili pembaruan gaya Socrates mengajar menggunakan argumen dengan semua pendatang. Selama hidupnya, Zeno itu sangat ditentang oleh orang lain, terutama Aristo, yang mengaku, seperti Zeno, untuk menangkap jantung pesan etika Socrates. Setelah kematiannya, Zeno dianggap sebagai pemimpin yang jujur dari gerakan filosofis baru, dan ide-idenya dikembangkan secara sistematis oleh para pemimpin sekolah berikutnya, terutama Chrysippus, teoretikus Stoic terbesar (280-207 SM). Namun, perdebatan tentang doktrin inti dan implikasinya terus menerus terjadi hingga akhir abad kedua dan awal abad ketiga sebelum masehi. Stoicisme (Paham Sikap Tabah) juga dikembangkan melalui argumen dengan sekolah lain, terutama sekolah akademik (Platonis). Pada awal abad pertama sebelum masehi. Athena berhenti menjadi pusat utama dari filsafat, dan Stoicisme, seperti filsafat lainnya, diajarkan dan dipelajari diberbagai kota utama dari Timur (berbahasa Yunani) Mediterania, sekarang didominasi oleh Roma, dan di Roma sendiri. Stoicisme (Paham Sikap Tabah), dalam bentuk yang lebih luas dan tersebar, menjadi yang paling berpengaruh dari filsafat Yunani selama abad pertama dan abad kedua Masehi. Selanjutnya, Stoicisme itu dikalahkan di zaman kuno oleh dihidupkan kembalinya bentuk-bentuk dari Plantonism dan Aristotelianisme dan oleh Kristen, meskipun pemikiran Stoic terus mempengaruhi tiga tradisi tersebut.

Teori tabah sebagai Sistem
Seperti yang dirumuskan oleh Chrysippus, Stoicisme sangat sistematis dalam ajaran-ajarannya. Kurikulum filosofis, dalam bentuk penuh, terdiri dari kombinasi etika, logika (pada dasarnya, metode filosofis, termasuk epistemologi), dan fisika (studi tentang alam) (Long dan Sedley 1987, bagian 26). Untungnya, orang-orang yg tabah idealnya - idealnya tidak ada orang tabah yang mengakui telah mencapai, tergantung pada integrasi penyelidikan lengkap dari cabang tersebut. Pemahaman penuh dari gagasan inti dalam Stoicisme, seperti alasan, ketertiban, dan baik (pengertian yang maknanya saling berkaitan erat), tergantung pada kombinasi dan integrasi cabang filsafat. Dalam arti luas, pandangan dunia yang ditawarkan oleh Stoicisme adalah naturalistik dan idealis. Naturalistik dalam menolak kontras Platonis antara jiwa dan tubuh, atau bentuk dan keterangan, dan bersikeras bahwa ada satu (materi) dunia yang merupakan obyek dari kedua persepsi dan pengetahuan. idealis dalam menjaga (kontras dengan Epicureanism) bahwa dunia ini dibentuk oleh purposive, rasionalitas ilahi dan ketertiban (Long dan Sedley, 1987. ss. 44-5, 53-5).

Etika: Nilai dan Pembangunan
Sejak Stoicisme memiliki karakter yang kuat, "pendidikan" tergantung pada pemahaman dan mengintegrasikan tiga cabang filsafat dan menempatkan pemahaman ini ke dalam praktik. Etika dapat menjadi poin terbaik dalam akses pemikiran orang-orang tabah tentang pendidikan. meskipun perlu diambil dengan aspek-aspek terkait logika dan fisika. Etika itu sendiri dipandang sebagai satu rangkaian topik yang terintegrasi, termasuk kategori nilai dan teori pembangunan (Long dan Sedley, 1987, s. 56). Sebuah klaim etika inti, akan kembali ke Zeno dan akan berakhir, akhirnya dari Socrates (Long, 1996, Bab 1), adalah bahwa kebajikan adalah hanya sikap baik, dan bahwa lainnya disebut benda (seperti kesehatan, kekayaan, dan kecantikan), sebaliknya, "hal ketidakpedulian" yang tidak berpengaruh pada kebahagiaan. Untuk Aristo, ini tampaknya menjadi awal dan akhir etika Stoic. Tapi Zeno, diikuti oleh jalur utama pemikiran Stoic, menyatakan bahwa hal-hal seperti kesehatan, setidaknya, "indifferents lebih", dan bahwa kita secara alami cenderung untuk "memilih" hal-hal lebih seperti daripada kebalikannya (Long dan Sedley, 1987, s. 58). Proses "seleksi" merupakan bagian penting dari cara kita mengembangkan manusia rasional. Tapi bagian penting dari proses ini terletak pada datang untuk mengakui bahwa apa yang penting, pada akhirnya, tidak mendapatkan hal-hal lebih tapi memilih mereka dengan cara yang benar - yaitu, saleh - dan, untuk gelar itu, datang untuk mengetahui dan mengungkapkan baik.

Konsep tabah pada nilai erat kaitannya dengan pemikiran mereka tentang pembangunan, ciri khas dari teori mereka yang jelas relevan dengan subjek pendidikan. Pembangunan dianalisis oleh mereka sebagai oikeiosis, "sosialisasi" atau "perampasan": itu terdiri dalam membuat dunia "sendiri" (oikeios) dan dalam memungkinkan dunia (dipahami sebagai sistem takdir dan rasional) untuk membuat satu "sendiri". Proses ini memiliki beberapa aspek dan tahap yang berbeda. Pada tingkat dasar, semua hewan, termasuk manusia, dipandang sebagai naluriah yang termotivasi untuk mencari hal-hal yang menjaga dan memelihara karakter khas mereka sendiri atau "konstitusi" (Panjang dan Sedley, 1987, s. 57A). (Ada kontras dan disengaja dengan pandangan Epicurean bahwa hewan, termasuk manusia, secara alami mengejar kesenangan (Long dan Sedley, 1987, s. 21A). Untuk manusia, yang pada dasarnya rasional, proses ini datang untuk mengambil bentuk (rasional) "memilih" hal-hal seperti menjadi "lebih" dengan alternatif mereka. Jika pembangunan manusia mengambil nya saja yang tepat, pilihan tersebut dan (pada prinsipnya) terbuka untuk justifikasi rasional. Juga, pilihan semakin didasarkan pada norma-norma yang tepat untuk "tindakan yang tepat" (atau "fungsi yang tepat", kathekonta). Dalam hal ini, pilihan datang semakin untuk menunjukkan fitur (konsistensi, order, rasionalitas) yang merupakan "hal baik" untuk Stoicisme. Tapi dimensi lebih lanjut adalah realisasinya, disebutkan di atas, bahwa yang penting, pada akhirnya, untuk kebahagiaan manusia tidak mendapatkan "lebih" hal tetapi memilih mereka secara rasional dan memerintahkan (yang mengatakan, berbudi luhur) cara. Salah satu cara untuk menyadari bahwa "kebajikan adalah hanya sikap baik" dan satu-satunya hal yang harus dipilih untuk kepentingan diri sendiri (Long dan Sedley, 1987, s. 59D). Ini juga dapat dinyatakan dengan mengatakan bahwa tujuan akhir dari kehidupan manusia adalah hidup "menurut kebajikan (atau alasan)", yang juga dapat dicirikan sebagai hidup "menurut sifat" (sebagai Stoa memahami "alam") (Long dan Sedley, 1987, s. 63).

Dimensi kedua pembangunan, yang juga disajikan secara mendalam "alami" satu satu, adalah salah satu sosial. Umum untuk semua hewan, dan dibangun dalam konstitusi fisik dan psikologis mereka, adalah kapasitas untuk reproduksi dan (lebih krusial) motivasi untuk merawat, dan memelihara, keturunan mereka. motivasi ini adalah manifestasi paling jelas dari keinginan lebih luas untuk "membiasakan" diri sendiri untuk orang lain dengan ikatan dengan mereka dan manfaat mereka. Bagi manusia dewasa, proses ini biasanya mengambil bentuk keterlibatan penuh dalam keluarga dan kehidupan komunal atau dalam bentuk lain dari hubungan sical positif, seperti yang dari filsafat mengajar. sisi lain dari proses ini adalah perpanjangan progresif kepedulian kami kepada orang-orang di luar keluarga dekat kami dan masyarakat dan pengakuan bahwa, sebagai sesama manusia yang rasional, kita juga "akrab" dengan mereka (Long dan Sedley, s. 57D-H) .

Hubungan antara kedua aspek pembangunan tidak sepenuhnya dijelaskan dalam sumber-sumber kami karena kami akan berharap. Tapi tampak jelas bahwa keduanya diambil sebagai fitur kunci dari proses perkembangan yang memberikan kontribusi terhadap, dan termasuk, pemahaman yang lebih teoritis baik. keterlibatan sosial, baik di dalam dan di luar komunitas langsung kita, memberikan konteks di mana kita bisa belajar untuk memilih "tepat" antara hal-hal yang lebih baik dan, dengan demikian, belajar bagaimana bertindak saleh dan mengakui bahwa ini adalah, pada akhirnya, yang terpenting pada manusia kehidupan. Juga, kedua proses diskriminasi rasional dan ikatan yang tepat dapat dipahami sebagai cara mewujudkan tatanan, rasionalitas, dan manfaat yang tanda menonjol dari yang baik. Sampai ke tingkat itu, kedua aspek pembangunan yang aspek saling belajar untuk hidup "menurut naute / alasan / kebajikan" yang kebahagiaan manusia, sebagai Stoa memahami hal ini. (Lihat lebih lanjut Inwood, 1985, pasal 5; Annas, 1993, pasal 5 dan 12,2; Striker 1996, pasal 12 dan 13;. Algra et al, 1999, pasal 21, terutama pp 677-82.).

Mengetahui Sikap Baik
Membuat rasa Stoic berpikir tentang datang untuk mengetahui baik melibatkan pertimbangan beberapa aspek terkait pemikiran Stoic. Salah satunya adalah teori Stoic pengetahuan. Dari perspektif modern, teori Stoic tampaknya menggabungkan aspek yang merupakan ciri khas dari kedua empiris dan pendekatan idealis dan kedua "korespondensi" dan "koherensi" teori pengetahuan. Di satu sisi, mereka melihat pengetahuan sebagai berdasarkan persepsi (tidak ide bawaan), yang dapat mengakibatkan salah satu keyakinan / pendapat atau pengetahuan. Mereka juga mempertahankan bahwa jenis tertentu dari persepsi (a "kesan kognitif") tentu menghasilkan kognisi benar, klaim membela melalui argumen berkelanjutan dengan skeptis di Akademi Plato selama ketiga dan abad kedua SM. Di sisi lain, mereka juga mempertahankan bahwa kita secara alami mampu membentuk (dengan kesimpulan dari persepsi) "prasangka" atau "natural / gagasan umum", seperti orang-orang dari baik atau dewa. Pengetahuan didasarkan pada kombinasi dari tayangan kognitif dan prasangka. proposisi benar sesuai dengan negara yang sebenarnya urusan di dunia tetapi juga merupakan suatu set konsisten secara internal dari ide-ide (Long dan Sedley, 1987. Ss 39-41;. Everson, 1990, pasal 9;. algra et al, 1999, Bab 9) .

Datang untuk mengetahui yang baik, oleh karena itu melibatkan kedua kesimpulan dari persepsi dan pembentukan prasangka a. Tapi itu adalah proses dari jenis yang sangat khusus karena "baik" mewakili kedua jenis tertinggi nilai dan salah satu yang berlaku dalam konteks yang sangat berbeda. Stoa meletakkan tekanan khusus pada peran analogi dalam memungkinkan kita untuk mengenali hubungan antara bentuk kebaikan yang ditemukan di konteks yang berbeda. Kebajikan-apa yang kita sebut "etika" atau "moral" kebaikan-merupakan salah satu aspek dari gagasan ini. Pengakuan kebajikan berkembang kita sendiri (jika kita mengembangkan sebagaimana seharusnya) dan bahwa orang lain merupakan dimensi penting dari proses datang untuk mengetahui baik. Tapi Stoa menekankan bahwa kita mengakui tidak hanya moral Gagasan (kebijakan manusia) adalah salah satu aspek dari konsep lebih luas tanda menonjol dari kebaikan yang di perintahkan, struktur, harmony, dan rasionalitas pengembangan mengakibatkan mengakui kebajikan sebagai sesuatu yang baik, yaitu baik mewujudkan ketertiban dan rasionalitas tapi kebaikan juga ada di tempat lain, di atas semua di alam smesta, di pahami sebagai memerintahkan dan nasional. Struktur dan rasionalitas juga tentu memberikan manfaat yang merupakan satu dari tanda yang menonjol dari kebaikan, sehingga satu dari tanda yang menonjol dari kebaikan, sehingga datang untuk mengetahui baik dalam arti sepenuhnya dari kata itu adalah pemahaman bagaimana kebaikan memanifestasikan dirinya dalam arti sepenuhnya dalam berbagai sektor (yang dapat disimpulkan dalam bidang etika, fisika, dan logika) dan juga soal mengungkapkan ini dalam hidup dan karakter anda sendiri (panjang dan sedley 1987.55.60:cf leradiankonou 1999 . bab)

Menafsirkan ide tabah tentang hubungan antara kebaikan etika dan kebaikan di konteks lainya ( khususnya , di dalam semesta secara keseluruhan ) adalah suatu hal sulit ( untuk kontras interpretasi, melihat annas. 1993 bab5 Striker 1996 pasal 12 terutama. Pp. 221-31). Tapi tidak ada keraguan kebijaksanaan itu. Negara Ideal tabah .termasuk pengetahuan tentang kebalikan dalam semua bidang dan inter koneksi mereka kebaikan alam semesta di tampilkan dalam urutan terlihat dan keharmonisan benda-benda langit dan di siklus siang dan malam cara bahwa setiap spesies secara alami di sesuaikan ( difisiknya dan kapasitas pisikologis) berfungsi sebagai organisme terpadu dan untuk melakukanya dalam duia, yang koheren manifestasi dari sitem organisasi dan koherensi diambil dari bukti ilahi-aspek pemikiran tabah yang sangat di pengaruhi oleh visi plato tentang dunia di timaeus tersebut tapi plato tidak seperti ini pengrajin tuhan. Yang berbeda dari dunia yang menciptakan bahwa tabah merupakan entitas fisik (merancang api) dan penyebab aktif prinsip ketertiban dan rasionalitas bekerja dalam alam (panjang dan sedley 1987.5.54 berdasarkan terutama pada cicero pada sifat para dewa buku : 2 juga panjang dan sedley 1987.55.44.46) karena mengakui keilahian dunia (struktur dan koherensi imanennya ) adalah aspek kuno lain dating untuk mengetahui baik (cf rousseau 1979.PP.313-14 ff )

Subyek pemikiran tabah terkait pada determinanisme dan lembaga, yang melibatkan mengakui dengan cara yang berbeda kebaikan alam semesta. Tabah biasanya di lihat sebagai “kesesuaian yang mencoba untuk mendamakan determinisme kausal universal 1 dengan gagasan bahwa manusai bertanggung jawab atas tindakan mereka. Rekonsilasi ini di bawa sebagian dengan menjelaskan tindakan manusia dengan pada jenis tertentu , penyebabnya internal (yaitu .persetujuan ini .(semacam ini konpotabilisme tidak melibatkan gagasan kebebasan memilih ide yang dikembangkan dalam teori penggemar makanan dan minuman) tapi ada yang bebeda dan bias dibilang cara lebih mendalam pemahaman tabah kompoatbilisme determinisme kausal tabah komportobailisme dan rastonalitas manusia dewasa baik menfestasi dari urutan rasionalitas dan kebaikan yang mendasar dengan alam sebagai tabah mengerti (bobzlen 1998 titik ini membantu menjelaskan mengapa menerima hasil di takdirkan acara bahkan dalam kasus dimana ini tampaknya pada wajah itu sangat menguntungkan untuk kita sebagai induvidu atau masyarakat atau manusia di pandangsebagai tanda kunci sebuah luhur atau di pandang sebagai tanda kunci dari sebuah luhur atau karakter dalam melakukanya kita mengakui bahwa alam semestadi hormat yang relevan baik (mekipun indikasi jelas sebliknya dengan demikian menggukapan) dengan demikian menngukapakan (setidaknya beberapa ukuran) kebaiakan dalam diri kita sendiri. Tapi kini lain mencontohkan pentingnya mengintegrasikan fisik, etika, dan logika. Sejak pemahaman yag tepat mencakup aspek dari semua tiga studi.

Etika praktis dan pemikiran konvensional
Aspek selanjutnya dari ketabahan relevan dengan pemikiran mereka tentang pusat-pusat pendidikan pada asfek etika. Asfek ini perlu di kaitkan dengan pemikiran mereka tentang hubungan antara keyakinan konvensional dan teori tentang bentuk terbaik dari organisasi politik dan sosial.
Gagasan bahwa filsafat etika harus memiliki kaitan langsung pada kehidupan seseorang akan kembaki untuk tidak ada perbedaan antara etika teoritas dan praktis mencari kebenaran melalui dialektika itu satu satunya cara untuk menemukan cara terbaik untuk kehidupan. Filsafat helenistik, kita menemukan perbedaan antara teori etika (berpusat pada klaim tentang sifat baik manusia dan penerapan hasil penyelidikan teoroitis untuk bekerja keluar bagaimana menjalani kehidupan yang baik dalam praktik ada cara yang berbeda untuk mengklarifikasi gendre etika contohnya vhilo praktis larisa sekolah akademik (158-84 sm ) di kalsifikasikan sebagai ( dorongan untuk terlibat dalam filsafat) terapi dan saran (baik berdasarkan filsafat) sistem sebanding klasifikasi dapat juga di temukan dalam penulis Seneca tabah (1sm ke 65ce) menguraikan sistem 3x lipat berdasarkan (1) menilai setiap hal; (2) mengadofsi suatu dorongan atau motivasi yang tepat terhadap hal hal di kejar dan (3) menccapai konsitensi atara tindakan impuls dan tindakan (ce50-130ce). (1) pola focus keinginan kita anatar terserah kta (bertujuanmenaji saleh yang tidak kepada kami (2) mengubah keinginan kita kedalam benar infuls terhadap tinakan yang tepat dan sesuai dengan situasi sosial kami, dan (3) bekerja menuju konsistenso lengkap dalam keyakinan- seistem kami dan (sesuai) denagn cara kita menanggapi setiap situasi yang muncul (Long dan Sedley. 1987,s.56 juga .s.66)meditasi marcus aurelius (Roman kaisar 121-80ce) mengadopsi versi dan pola yang mencakup focus pada kebutuhan untuk mengadopsi terhadap diri sendiri sebagai bagian penting dari menerapkan teknik ini.
Bagaimana metode etika praktis berhubungan dengan ide ntiti teori tabah? Kadang kadang di saranakan bahwa tipologo 3kali lipat evictetus adalah versi praktis 3 bagian kurikulum filsafat ( fisika ,etika, dan logika) , (misalnya hadot, 1995,pp,193-5) namun, itu lebih masuk akal untuk melihat teknik itu sebagai dalam etika dan iklan di arahkan untuk membantu orang bekerja di luar inflikasi, praktis mengadopsi prinsip prinsip etika tabah prisip harud di dukung oleh fisika dan logika dan penulis etika cara hidup yan mengikuti dari prinsip yang kurang proyek membawa keluar inflikasi ini untuk hidup yang baik termasuk dalam lingkup etika.
Apa hubungan antara teori tabah dan keyakinan etika dan sosial konvesional? di satu sisi mempertahankan bahwa banyak dari kesalahan yang menghentikan kebanyakan orang dari menyelesaikan proses pengembangan etika berasal dari keluarga dan lingkungan komunal. Suatu jenis yang paling umum dari kesalahan adalah bahwa dari hal-hal yang mengira “hal ketidakpedulian” yang kita hanya harus memilih atau tidak memilih untuk memiliki, untuk hal-hal yang baik atau buruk benar-benar itu adalah kesalahan yang menghasilkan emosi atau nafsu, reaksi bahwa menganggap sebagai “penyakit jiwa” (panjang dan seglei, 1987 .s. 65: cf.inwood 1985, bab 5) di sisi lain stres tabah bahwa “semua manusia memiliki titik pangkal kebajikan “(Long dan Sedley 1987,s.61L) mereka juga percaya bahwa keyakinan konvensionl dan praktek dalam masyarakat tertentu mengandung beberapa drajat kebenaran. Apa etika yang di butuhkan adalah bagi kita untuk “memeriksa tayangan kami” (seperti Epictetus menempatkan) dan untuk menyaring keyakinan – sistem kami sampai kita mengenali inti sebenarnya dari keyakinan yang ada dalam diri mereka. (seperti yang di bawa oleh Long 2002, bab3, ini dekat untuk melihat dan fungsi wacana filosofis). Dengan kata lain, salah satu proyek etika praktis tabah adalah dalam menolong kita untuk mengenali logika yang mendasari atau pemikiran yang terkandung dalam keyakinan komunal-sistem. Ini menjelaskan salah sattu fitur yang lebih menarik dari fikir tabah minat mereka dalam mengalegorisasikan interpretasi dari mitos, kepercayaan agama, dan bahasa (e.g.cicro, pada sifat para dewa 2,63-9). Apa ini mencerminkan adalah gagasan bahwa, jika di terjemahkan dengan benar keyakinan konvensional mengandung (setidaknya sebagian bentuk) aspek rasional dan prinsip-prinsip sistemmatis bahwa teori tabah berusaha untuk conver.

Terkait mendasari ide-ide politik tabah awal pemikiran politik tampak nya telah berpusar pada gaya penolakan struktur politik konvensional dalam mendukung komunitas “ alami “ bahwa orang bijak, yang di tandai di atas semua oleh persatuan internal dan harmonis. Dalam pemikiran kemudian tabah, kita menemukan sebagai I ganti nya cita-cita seperti “hukum alam” dan persaudaraan manusia berfungsi sebagai norma universal yang aturan hukum dan struktur politik di hokum alam masyarakat konvensioal. Tidak seperti kode modern hak asasi manusia, tidak menetapkan aturan tertentu atau hak membawa keluar di republik dan pada tugas hokum alam dan persaudaraan umat manusiamenandakan idea dari inti etika tujuan yang mendasari praktik terbaik dalam suatu mayarakat konvensioanl seperti republik romawi (Long dan Sedley 1987,d.67:cf.annad 1993,pasal 13,3:algra 1999,pp,756-68) di kontek ini juga maka kita menemukan gagasan bahwa secra filsafat di pandu pemeriksaan keyakinan dan praktik konvensional dapat mengungkapkan bagian setidaknya dari struktur memerintahkan rasionalitas yang tabah mengidentifikasi sebagai apa yang baik benar benar.
Idea tabah tentang etika praktis keyaknan konvensional dan politik menggambarkan lanjut kekayaan dan kohernsi system mereka tidak merumuskan sebagai bagaian dari filsafat pedidikan idea ini dapat menawarkan wawasan yang kuat untuk studi modern daerah ini.

STOICISM

Stoicism, like the other Greek philosophies discussed in chapter 1, can be seen as a continuation of the Socratic movement. There is no single, distinct branch of stoic theory that we can identify as their “philosophy of education”. But the Stoics produced an original and powerful set of ideas on human development, the acquisition of knowledge (especially knowledge of the good), and types of value, and these ideas ore of continuing significance for modern students of the philosophy of education. Also important in this connection are their views about the need for an integrated philosophical curriculum, the teaching of practical ethics, and the relationship between philosophical theory and conventional beliefs and practices.

Context and History
Stoicism, like its great rival, Epicureanism, emerged in Athens at the start of the third century BCE. Through the activities of Socrates, Plato, and Aristotle, Athens had become by this date the main center of philosophy in Greece, indeed in the ancient Mediterranean world. Two major “schools” of philosophy had been established, in the Academy (by Plato and his successors) and in the Lyceum (by Aristotle and his successors). Two more schools emerged, that of Epicurus (based in his house and garden outside the city) and that of Zeno, based in the Painted Stoa in Athens. Though intellectually sophisticated and covering complex fields of knowledge, these schools were highly informal as institutions. They functioned as research groups for like minded independent scholars and provided public lectures and more sustained courses of teaching for interested young people and adults. The philosophical schools, alongside the rhetorical schools (their more successful and more “mainstream” rivals) offered student were predominantly (thoug not entirely) males; the students were mostly (though not invariably) from the upper classes in the Greek-speaking world. Stoicism and Epicureanism, together with other, still more informal, groups such as the Cynics, also represented a distinct set of ethical attitudes, way of life and world view.

Zeno (c.334-262 BCE), the founder of the Stoic school, was strongly influenced, in ideas and approach, by Socrates; his decision to teach in a public colonnade near the city center represented a renewal of the Socratic style of teaching by argument with all comers. During his lifetime, Zeno was strongly challenged by others, notably Aristo, who claimed, like Zeno, to be capturing the heart of the Socratic ethical message. After his death, Zeno was regarded at the clear leader of a new philosophical movement, and his ideas were developed and systematized by subsequent leaders of the school, notably Chrysippus, the greatest Stoic theorist (280-207 BCE). However, debate about the core doctrines and their implications continued though out the third and second centuries BCE; Stoicism also developed through argument with other schools, notably the Academic (Platonic) school. In the early first century BCE. Athens ceased to be the main center of philosophy, and Stoicism, like other philosophies, was taught and studied trough out the main cities of the Eastern (Greek-speaking) Mediterranean, now dominated by Rome, and at Rome itself. Stoicism, in this more widespread and diffused form, became the most influential of Greek philosophies during the first and second centuries CE. Subsequently, Stoicism was eclipsed in antiquity by revived forms of Plantonism and Aristotelianism and by Christianity, though Stoic thought continued to influence all three traditions.

Stoic Theory as a System
As formulated by Chrysippus, Stoicism is highly systematic in its teachings. The philosophical curriculum, in its full form, consists of a combination of ethics, logic (in effect, philosophical method, including epistemology), and physics (study of nature) (Long and Sedley, 1987, section 26). Wisdom, the Stoic ideal - an ideal that no Stoic teacher claimed to have attained - depends on the complete integration of these branches of inquiry. The full understanding of core notions in Stoicism, such as reason, order, and the good (notions whose meaning is closely interconnected), depends on this combination and integration of branches of philosophy. In broad terms, the world view offered by Stoicism is both naturalistic and idealistic. It is naturalistic in rejecting the Platonic contrast between soul and body, or forms and particulars, and in insisting that there is one (material) world that is the object of both perception and knowledge. It is idealistic in maintaining (in sharp contrast to Epicureanism) that this world is shaped by purposive, divine rationality and order (Long and Sedley, 1987. ss. 44-5, 53-5).

Ethics: Values and Development
Since Stoicism has this strongly unified character, “education” depends on understanding and integrating all three branches of philosophy and on putting this understanding into practice. Ethics may be the best point of access to Stoic thinking about education, though it needs to be taken with related aspects of logic and physics. Ethics was itself seen as a highly integrated set of topics, including categories of value and a theory of development (Long and Sedley, 1987, s. 56). A core ethical claim, going back to Zeno and taken to stem, ultimately, from Socrates (Long, 1996, chapter 1), is that virtue is the only good, and that other so-called goods (such as health, wealth, and beauty) are, by contrast, “matters of indifference” which have no effect on happiness. For Aristo, this seems to have been both the beginning and the end of Stoic ethics. But Zeno, followed by the main line of Stoic thinking, maintained that things such as health are, at least, “preferable indifferents”, and that we are naturally inclined to “select” such preferable things rather than their opposites (Long and Sedley, 1987, s. 58). This process of “selection” forms a key part of the way we develop as rational human beings. But a crucial part of this process lies in coming to recognize that what matters,ultimately, is not obtaining preferable things but selecting them in the right way - that is, virtuously - and, to that degree, coming to know and express the good.
Stoic concepts of value are closely bound up with their thinking about development, a distinctive feature of their theory that is clearly relevant to the subject of education. Development is analysed by them as oikeiosis, “familiarization” or “appropriation”: it consist in making the world “one’s own” (oikeios) and in enabling the world (understood as a providential and rational system) to make one “its own”. This process has several different aspects and stages. At a basic level, all animals, including humans, are seen as instinctively motivated to seek those things that maintain and nurture their own distinctive character or “constitution” (Long and Sedley, 1987, s. 57A). (There is a sharp and deliberate contrast with the Epicurean view that animals, including humans, naturally pursue pleasure (Long and Sedley, 1987, s. 21A). For human beings, who are fundamentally rational, this process comes to take the form of (rationally) “selecting” such things as being “preferable” to their alternatives. If human development takes its proper course, such selections and (in principle) open to rational justification. Also, selection is increasingly based on proper norms for “appropriate actions” (or “proper functions”, kathekonta). In this respect, selection comes increasingly to echibit the features (consistency, order, rationality) that constitute “the good” for Stoicism. But a crucial further dimension is the realization, noted above, that what matters, ultimately, for human happiness is not obtaining the “preferable” things but selecting them in a rational and ordered (that is to say,virtuous) way. One comes to realize that “virtue is the only good” and the only thing that should be chosen for its own sake (Long and Sedley, 1987, s. 59D). This can also be expressed by saying that the ultimate goal of human life is living “according to virtue (or reason)”, which can also be characterized as living “according to nature” (as the Stoics understand “nature”) (Long and Sedley, 1987,s . 63).
A second dimension of development, which is also presented a a profoundly “natural” one, is the social one. Common to all animals, and built into their physical and psychological constitution, is the capacity for reproduction and (more crucially) the motivation to care for, and nurture, their offspring. This motivation is the most obvious manifestation of a more pervasive desire to “familiarize” oneself to others by bonding with them and benefiting them. For adult human beings, this process normally takes the form of full engagement in family and communal life or in other forms of positive sical relationship, such as that of teaching philosophy. Another side of this process is the progressive extension of our concern to those outside our immediate family and community and the recognition that, as fellow rational human beings, we are also “familiarized” to them (Long and Sedley, s. 57D-H).
The relationship between these two aspects of development is not as fully explained in our sources as we would wish. But it seems clear that both are taken as key features of a developmental process that contributes toward, and includes, a more theoretical understanding of the good. Social engagement, both within and outside our immediate community, provides a context through which we can learn to select “appropriately” between preferable things and, thus, learn how to act virtuously and to recognize that this is, ultimately, all that matters in human life. Also, both the processes of rational discrimination and of appropriate bonding can be understood as ways of actualizing the order, rationality, and benefit that are the salient marks of the good. To that degree, both aspects of development are interconnected facets of learning to live the life “according to naute/reason/virtue” which is human happiness, as the Stoics understand this. (See further Inwood, 1985, chapter 5; Annas, 1993, chapters 5 and 12.2; Striker, 1996, chapters 12 and 13; Algra et al., 1999, chapter 21, especially pp. 677-82).

Knowing the Good
Making sense of Stoic thought about coming to know the good involves consideration of several related aspects of Stoic thought. One of these is the Stoic theory of knowledge. From a modern perspective, the Stoic theory seems to combine aspects that are characteristic of both empiricist and idealist approaches and of both “correspondence” and “coherence” theories of knowledge. On the one hand, they see knowledge as based on perceptions (not innate ideas), which may constitute either belief/opinion or knowledge. They also maintain that a certain kind of perception (a”cognitive impression”) necessarily yields a true cognition, a claim defended through sustained argument with skeptics in the Platonic Academy during the third and second centuries BCE. On the other hand, they also maintain that we are naturally capable of forming (by inference from perception) “preconceptions” or “natural/common notions”, such as those of the good or of god. Knowledge is based on a combination of cognitive impressions and preconceptions. True propositions correspond to actual states of affair in the world but also constitute an internally consistent set of ideas (Long and Sedley, 1987. Ss. 39-41; Everson, 1990, chapter 9; Algra et al., 1999, chapter 9).
Coming to know the good, therefore involves both inference from perceptions and the formation of a preconception. But it is a process of a very special kind because “good” represents both the highest kind of value and one that is applicable in widely different contexts. Stoics lay special stress on the role of analogy in enabling us to recognize connections between the forms of goodness found in these different contexts. Virtue-what we might call “ethical” or “moral” goodness-is one aspect of this notion. The recognition of our own developing virtue (if we develop as we should) and that of other people constitutes an important dimension of the process of coming to know the good. But Stoics emphasize that waht we are recognizing is not just a moral

Mengapa Harus Kurikulum 2013?

Dunia saat ini tengah berada di era globalisasi. Era dimana berbagai kegiatan manusia telah terimbas oleh perkembangan kemajuan IPTEK. Semakin besarnya pengaruh IPTEK terhadap setiap lini kehidupan manusia masa kini mengharuskan manusia memiliki penguasaan akan IPTEK.
Perkembangan zaman dengan semakin berkembangnya kemajuan IPTEK telah memberikan pengaruh yang besar dalam suatu sistem pendidikan. Perkembangan zaman memberikan impact besar dalam setiap lini sistem pendidikan. Sekolah sebagai pelaksana pendidikan, baik pengawas, kepala sekolah, tenaga pendidik, maupun peserta didik akan terkena imbas langsung dari berkembangnya zaman yang ditandai dengan kemajuan dalam bidang IPTEK.
Menjawab berbagai tantangan perkembangan zaman, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh, mengungkapkan bahwa perubahan dan pengembangan kurikulum pendidikan merupakan suatu langkah tepat yang sangat penting, karena sifat kurikulum itu sendiri yakni bersifat dinamis sehingga harus selalu dilakukan perubahan dan pengembangan agar senantiasa mengikuti perkembangan zaman.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kabinet Indonesia Bersatu II dibawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut tidak serta merta melakukan perubahan dan pengembangan terhadap kurikulum yang telah ada sebelumnya. Perlunya perubahan dan pengembangan kurikulum didorong oleh beberapa hasil studi tentang kemampuan peserta didik Indonesia dalam kancah Internasional. Salah satu hasil survey “Trends in International Math and Science” tahun 2007, yang dilakukan oleh Global Institute, menunjukkan bahwa dalam sebuah tes mengerjakan soal penalaran tingkat tinggi, hanya 5 persen peserta didik Indonesia yang mampu menyelesaikan soal tes tersebut. Angka tersebut jauh tertinggal bila dibandingkan dengan peserta didik Korea yang sebanyak 71 persen siswa mampu mengerjakan soal tes tersebut.
Dalam penelitian lain diungkapkan pula bahwa sistem pendidikan di Indonesia menempati peringkat bawah ke-10 dari 65 negara anggota PISA (Programme for International Student Assesment) tahun 2009. Dari hasil survey tersebut dapat ditarik satu kesimpulan bahwa kemampuan dan daya saing peserta didik Indonesia masih sangat jauh tertinggal. Untuk mengatasi permasalahan inilah, Mendikbud mencanangkan suatu program perubahan dan pengembangan terhadap kurikulum pendidikan Nasional yang saat ini dikenal dengan sebutan Kurikulum 2013.
Diadaptasi dari materi sosialisasi kurikulum 2013 dalam buku “Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013” karya Prof. DR. H. E Mulyasa, M.Pd, menyatakan bahwa suatu keharusan untuk melakukan perubahan kurikulum didasarkan pada kelemahan sera kekurangan dari kurikulum sebelumnya yakni Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), di antaranya:
1. Isi dan pesan-pesan kurikulum masih terlalu padat, yang ditunjukkan dengan banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi yang keluasan dan kesukarannya malampaui tingkat perkembangan usia anak;
2. Kurikulum belum mengembangkan kompetensi secara utuh sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional;
3. Kompetensi yang dikembangkan lebih didominasi oleh aspek pengetahuan, belum sepenuhnya menggambarkan pribadi peserta didik (pengetahuan, keterampilan, dan sikap);
4. Berbagai kompetensi yang diperlukan sesuai dengan perkembangan masyarakat, seperti pendidikan karakter, kesadaran lingkungan, pendekatan dan metode pembelajaran konstruktifistik, keseimbangan soft skills and hard skills, serta jiwa kewirausahaan, belum terakomodasi di dalam kurikulum;
5. Kurikulum belum peka dan tanggap terhadap berbagai perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional, maupun global;
6. Standar proses pembelajaran belum menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang penafsiran yang beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat pada guru;
7. Penilaian belum menggunakan standar penilaian berbasis kompetensi, serta belum tegas memberikan layanan remediasi dan pengayaan secara berkala.

Meskipun demikian, perubahan dan pengembangan terhadap kurikulum harus secara sistematis, terarah, dan tidak asal berubah. Perubahan tersebut harus memiliki visi dan arah yang jelas, agar sistem pendidikan Nasional dapat dengan jelas berlabuh pada satu tujuan yang dengannya dapat memberi manfaat serta membawa perubahan besar bagi bangsa Indonesia.
Era globalisasi yang penuh dengan tantangan mau tidak mau mengharuskan sistem pendidikan kita untuk mempersiapkan lulusan-lulusan terbaik dan berkompeten. Untuk merealisasikan hal tersebut maka diperlukan suatu regulasi pendidikan yang dirancang berdasarkan kebutuhan nyata di lapangan. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan melakukan penataan kurikulum.
Dalam buku “Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013” karya Prof. DR. H. E Mulyasa, M.Pd, dinyatakan bahwa terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan Kurikulum 2013 berbasis kompetensi, yaitu:
1. Penetapan kompetensi yang akan dicapai, merupakan pernyataan tujuan (goal statement) yang hendak diperoleh peserta didik, menggambarkan hasil belajar (learning outcomes) pada aspek pengetahuan, keterampilan, nilai, dan sikap.
2. Strategi mencapai kompetensi, merupakan upaya untuk membantu peserta didik dalam menguasai kompetensi yang ditetapkan, misalnya: membaca, menulis, mendengarkan, berkreasi, dan mengobservasi, sampai terbentuk suatu kompetensi.
3. Evaluasi, merupakan kegiatan penilaian terhadap pencapaian kompetensi bagi setiap peserta didik.

Kurikulum 2013 merupakan tindak lanjut dari kurikulum berbasis kompetensi (KBK). KBK (Competency Based Curriculum) merupakan kurikulum yang hendak mencetak lulusan yang unggul dan memiliki kompetensi (pengetahuan, keterampilan, dan sikap). Sedangkan dalam Kurikulum 2013 ketiga aspek tersebut semakin dikembangkan dengan direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Burke (1995) mengemukakan bahwa kompetensi: “.... is a knowledge, skill, and abilities or capabilities that a person achieves, which become part of his or her being to the exent he or she can satisfactorily perform particular cognitive, afective, and psychomotor behaviors”. Dalam hal ini kompetensi diartikan sebagai pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dikuasai oleh seseorang yang telah menjadi bagian dari dirinya, sehingga ia dapat melakukan perilaku-perilaku kognitif, afektif, dan psikomotorik dengan sebaik-baiknya.
Kurikulum 2013 yang berbasis karakter dan kompetensi secara konseptual memiliki beberapa keunggulan, di antaranya: Pertama, Kurikulum 2013 menggunakan pendekatan kontekstual (alamiah), karena fokusnya adalah untuk pengembangan berbagai kompetensi peserta didik yang sesuai dengan potensi yang dimiliki. Sehingga proses belajar berlangsung secara alamiah dalam bentuk bekerja dan mengalami berdasar pada kompetensi tertentu. Proses belajar bukan hanya menjadi ajang transfer pengetahuan (transfer of knowledge).
Kedua, Kurikulum 2013 boleh jadi mendasari pengembangan kemampuan-kemampuan lain. Seperti kemampuan dalam penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan dan keahlian kerja, kemampuan memecahkan masalah sehari-hari, serta pengembangan aspek kepribadian peserta didik. Ketiga, terdapat beberapa mata pelajaran yang dalam pengembangannya memang lebih tepat menggunakan pendekatan kompetensi.
Pendidikan berbasis Kurikulum 2013 mengharuskan siswa memiliki daya berpikir yang kritis serta mampu melakukan tindakan aktif yang menunjang pembelajaran. Guru sebagai tenaga pendidik tidak lagi memegang kendali 100 persen dalam setiap kegiatan pembelajaran, melainkan peserta didik pun diberikan andil dalam keberlangsungan proses pembelajaran. Di dalam kelas, guru hanya menjadi pembimbing yang mengarahkan langkah peserta didik dalam menemukan dan menganalisis pemecahan masalah dalam suatu materi pelajaran.
Dalam kegiatan belajar mengajar, guru diharuskan mampu merangsang daya pikir serta keaktifan peserta didik agar ketiga aspek kompetensi (kognitive, afektive, psichomotoric) peserta didik terstimulus melalui kegiatan-kegiatan pemberian tugas yang dipelajari di sekolah sehingga mereka memiliki kemampuan yang diperlukan dalam dunia kerja.
Kurikulum 2013 sangat berbeda dengan kurikulum-kurikulum sebelumnya. Salah satu perbedaannya dapat dilihat dari sistem pembelajaran yang ditetapkan oleh pemerintah melalui Kurikulum 2013. Penulis mengambil sampel pada sistem pembelajaran di sekolah dasar. Berikut ini perbedaan Kurikulum 2013 untuk sekolah dasar.
1. Tematik-Integratif
Pembelajaran Tematik-Integratif pada awalnya hanya diterapkan pada tingkatan kelas rendah sekolah dasar, namun dalam Kurikulum 2013 pembelajaran semacam ini mulai diterapkan pada semua tingkatan kelas sekolah dasar. Pembelajaran berbasis Tematik-Integratif menyuguhkan pembelajaran yang mengacu pada satu pokok bahasan tema yang dikombinasikan dengan mata pelajaran lainnya.
2. Delapan Mata Pelajaran
Sebelum menerapkan Kurikulum 2013, untuk tingkatan sekolah dasar dibebankan 10 mata pelajaran, namun setelah Kurikulum 2013 beban mata pelajaran menjadi lebih sedikit yakni berjumlah 8 mata pelajaran. Hal ini terjadi karena terdapat beberapa mata pelajaran yang diintegrasikan dengan mata pelajaran yang lain.
3. Pramuka sebagai Ekstrakurikuler Wajib
Dalam Kurikulum 2013, Pramuka menjadi ekstrakurikuler wajib dalam satuan pendidikan dasar dan menengah dan telah diatur dalam Undang-undang. Hal ini didasarkan pada tujuan dari Kurikulum 2013 itu sendiri yang hendak mengedepankan pendidikan karakter bagi peserta didik. Dengan pendidikan pramuka diharapkan proses pengembangan karakter peserta didik dapat terlaksana.
4. Bahasa Inggris hanya Ekskul
Pada tingkat pendidikan sekolah dasar, pendidikan bahasa inggris akan dihapus dari kurikulum. Rencana penghapusan bahasa inggris dari Kurikulum 2013 didasari kekhawatiran akan membebani siswa dan memprioritaskan peserta didik terhadap penguasaan Bahasa Indonesia.
5. Belajar di Sekolah Lebih Lama
Pada tingkat sekolah dasar, kelas rendah yang awalnya belajar selama 26-28 jam per minggu bertambah menjadi 30-32 jam per minggu. Sedangkan untuk kelas tinggi yang semula belajar selama 32 jam per minggu bertambah menjadi 36 jam per minggu. Pemadatan mata pelajaran dalam Kurikulum 2013 bukan mengurangi jam belajar, justru membuat jam belajar menjadi lebih lama. Metode baru dalam kurikulum ini mengharuskan peserta didik untuk ikut aktif dalam pembelajaran dan mengobservasi setiap tema yang menjadi bahasan.

Dalam penerapan Kurikulum 2013 terdapat beragam respon yang diberikan masyarakat. Banyak masyarakat yang pro terhadap penerapan Kurikulum 2013, tetapi tak sedikit pula yang kontra akan hal tersebut. Pada sisi pihak yang pro akan diterapkannya Kurikulum 2013, penulis berpendapat bahwa merujuk pada tujuan serta urgensi penyesuaian sistem pendidikan kita akan semakin berkembangnya zaman, penerapan pendidikan berbasis Kurikulum 2013 patut disetujui. Mengapa? Karena pada dasarnya Kurikulum 2013 merupakan sari-sari dari kurikulum-kurikulum sebelumnya. Segala aspek penilaian yang terdapat pada kurikulum sebelumnya tetap dimasukkan bahkan semakin dikembangkan dalam Kurikulum 2013. Misalnya dalam aspek kelulusan siswa memiliki kompetensi, dalam Kurikulum 2013 aspek kompetensi semakin dikembangkan dan dijabarkan menjadi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Kurikulum 2013 merupakan sebuah kurikulum yang mengutamakan pemahaman, skill, dan pendidikan berkarakter, siswa dituntut untuk paham atas materi, aktif dalam berdiskusi dan presentasi serta memiliki sopan santun disiplin yang tinggi.
Di lain sisi, yaitu pada pihak yang kontra terhadap penerapan sistem pembelajaran berbasis Kurikulum 2013, penulis berpendapat bahwa Kurikulum 2013 merupakan suatu bentukan yang kurang matang, kurang tersistematika dengan baik, dan kurang perhitungan. Mengapa? Karena seperti yang dapat kita lihat saat ini, penerapan Kurikulum 2013 yang pada awalnya digadang-gadang akan menjadikan pendidikan nasional berkembang ke arah yang lebih baik nyatanya masih mengalami beberapa kendala baik kendala teknis maupun non-teknis.
Uji public yang berlangsung hanya sekian bulan menyebabkan para tenaga pendidik tidak siap secara kognitif maupun keterampilan dalam mengaplikasikan sistem pembelajaran bernuansa Kurikulum 2013. Para kepala sekolah pun belum siap mengerahkan para guru untuk mulai menyesuaikan teknik-teknik pembelajaran yang sebelumnya sesuai dengan KTSP menjadi sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2013. Begitupun dengan murid-murid yang harus cepat menyesuaikan diri dengan nuansa pembelajaran Kurikulum 2013 yang menuntut mereka untuk berperan aktif selama proses belajar yang ditandai dengan belajar memecahkan permasalahan bersama sesama murid tanpa adanya peran dominan dari guru.
Setelah mengkaji hal-hal apa saja yang mengharuskan dan tidak mengharuskan adanya penerapan Kurikulum 2013 oleh pemerintah, penulis berpendapat bahwa langkah pemerintah dalam pencanangan Kurikulum 2013 sebagai kurikulum baru pengganti kurikulum-kurikulum lain dirasa memang tepat. Hal ini berdasarkan atas fenomena-fenomena masa kini yang terimbas dari adanya arus globalisasi sehingga mengharuskan adanya regulasi sistem pendidikan yang mengacu pada perkembangan zaman. Sistem pendidikan dituntut untuk mencetak generasi-generasi yang memiliki kompetensi (kognitif, afektif, dan psikomotorik), berkarakter, dan memiliki daya saing nasional dan internasional.
Akan tetapi, masih terdapat beberapa hal utama yang perlu disoroti oleh pemerintah khususnya Kementrian Pendidikan. Agar pembelajaran berbasis Kurikulum 2013 dapat terlaksana dengan baik maka alangkah lebih baiknya agar pemerintah melakukan pengkajian yang lebih mendalam lagi akan berbagai keuntungan dan juga kelemahan dari penerapan Kurikulum 2013. Dengan sistem terintegrasinya beberapa mata pelajaran dalam Kurikulum 2013, terdapat beberapa mata pelajaran yang dihapus dan tidak diajarkan di sekolah dasar dengan dalih untuk mengurangi beban siswa dan memusatkan pada target pendidikan.
Untuk dapat mengantongi sertifikat Guru Professional, guru dituntut untuk mengajar selama jumlah jam tertentu. Guru yang jam mengajarnya dikurangi karena terdapat mata pelajaran yang diintegrasikan dengan mata pelajaran lain akan merasa keberatan. Dan bagaimana pula dengan para guru yang tidak memiliki jam mengajar sama sekali karena mata pelajaran yang diampunya sudah dihapuskan, misalnya dalam mata pelajaran bahasa inggris di sekolah dasar. Tentu mereka akan merasa sangat dirugikan oleh penerapan Kurikulum 2013 ini.
Untuk ke depannya pemerintah diharapkan agar mengkaji positif dan negatif suatu perubahan kurikulum yang imbasnya adalah ke berbagai lapisan warga sekolah, selain itu proses uji public serta sosialisasi penerapan Kurikulum 2013 harus dilaksanakan sejak jauh-jauh hari sebelum hari H penerapan kurikulum tersebut. Uji public dan sosialisasi yang dilakukan pun harus menyeluruh ke berbagai daerah baik di perkotaan, pedesaan, maupun ke daerah terluar, terdepan, terpencil dan tertinggal agar penerapan Kurikulum 2013 merata.



































DAFTAR PUSTAKA
Hamalik, Oemar. 2013. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA.
Karim, Faris Abiyyu. 2015. Pro dan Kontra Kurikulum 2013. From: http://www.kompasiana.com/kunabiyyu16/pro-dan-kontra-kurikulum-2013_54f5 fb6ba33311c5028b4793, Diakses pada Selasa, 5 Oktober 2016.
Mulyasa, E. 2014. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA.