Minggu, 25 Desember 2016

Teori Kebenaran Saling Berkesesuaian (Correspondence Theory of Truth)

Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal dan paling tua. Teori tersebut berangkat dari teori pengetahuan Aristoteles yang menyatakan segala sesuatu yang diketahui adalah suatu yang dapat dikembalikan pada kenyataan yang dikenal oleh subjek. Teori ini berpandangan bahwa suatu propoisi bernilai benar apabila saling berkesesuaian dengan dunia kenyataan. Kebenaran demikian dapat dibuktikan secara langsung pada dunia kenyataan. Misalnya pengetahuan ‘air akan menguap jika dipanasi sampai dengan 100 derajat’. Pengetahuan tersebut dinyatakan benar kalau kemudian dicoba memanasi air dan diukur sampai seratus derajat, apakah air menguap! Jika terbukti tidak menguap maka pengetahuan tersebut dinyatakan salah, dan jika terbukti air menguap, maka pengetahuan tersebut dinyatakan benar.
Kalau teori koherensi diterima oleh kebanyakan kaum idealis, maka teori korespondensi lebih bisa diterima oleh kaum realis. Teori korespondensi ini mengatakan bahwa seluruh pendapat mengenai suatu fakta itu benar jika pendapat itu sendiri disebut fakta yang dimaksud. Dengan kata lain, kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dengan fakta itu sendiri. Terhadap suatu pendapat yang menyatakan bahwa ‘di luar hawanya dingin’ misalnya, maka teori ini menuntut adanya fakta bahwa dingin itu benar adanya atau nyata berada di luar, bukan hanya ide tentang hawa dingin itu saja. Kalau teori koherensi bersifat rasional-aprioris, maka teori korespondensi ini bersifat empiris-aporterioris. Kalau teori koherensi menekankan adanya saling hubungan di antara ide-ide secara tepat, logis, dan sistematis maka teori korespondensi menekankan pada apakah ide-ide itu merupakan fakta sendiri atau bukan. Persesuaian antara arti yang dikandung di berbagai pendapat dengan apa yang merupakan fakta-faktanya merupakan kriteria bagi teori korespondensi. Persoalan yang segera muncul dari pernyataan tentang fakta itu merupakan suatu ide yang sifatnya psikis. Lalu fakta itu sendiri mempunyai sifat non-psikis. Mungkinkah antara yang psikis dan non-psikis itu bisa sesuai? Rogers mengatakan bahwa, kebenaran itu terletak pada kesesuaian antara esensi atau arti yang diberikan dengan esensi yang terkandung dalam diri hal atau objek itu sendiri. Tampak jelas dalam pendapat ini bahwa yang bersesuaian itu adalah esensi objek atau fakta sebagai arti dengan esensi yang terdapat dalam objek atau faktanya sendiri. Russel memperjelaskanya dengan mengatakan bahwa kebenaran adalah persesuaian antara arti yang terkandung oleh perkataan-perkataan yang telah ditentukan, dan kesesuaiannya berupa identiknya arti-arti tersebut.
Menurut John S. Brubacher dalam bukunya Modern Philosophies of Education, teori korespondensi berpendapat bahwa kebenaran ialah hubungan antara subjek yang menyadari dengan objek yang disadari. Kebenaran sudah ada di luar diri nmanusia, yaitu dalam dunia ini. Manusia tinggal mencari dan menemukannya. Karena itu kebenaran lebih ditentukan oleh faktor eksternal, bukan internal. (Burhanuddin Salam, 1997).
Teori korespondensi menggantungkan kebenaran pada adanya ‘hubungan’ antara subjek dan objek. Ketiadaaan hubungan berarti ketiadaaan kebenaran. Belum mantapnya kebenaran dan tidak adanya jaminan tentang apakah memang sungguh-sungguh ada hubungan antara subjek dan objek, menjadi kritik yang tak dapat teori ini ingkari. Peristiwa ‘salah paham’ yang acapkali terjadi menunjukkan bukti kekeliruan orang dalam menguhubungkan diri dengan objek. Juga ‘berubah kesan’ yang diakibatkan oleh hubungan yang berulang-ulang terhadap objek yang sama, menunjukkan kelemahan teori ini. (Burhanuddin Salam, 1997).





Sumber:
Komara, Endang. 2011. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Bandung: PT Refika Aditama. 
Salam, Burhanuddin. 1997. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Surajiyo. 2007. Filsafat Ilmu & Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar